Kalseltoday.com, Palangkaraya - Jalan panjang dan berbatu terbentang bagi transpuan dan transjender saat bermasyarakat. Mereka hidup dalam persembunyian dan berpindah-pindah. Sayang, itu terjadi di Kota Cantik, Palangkaraya yang disebut Bumi Pancasila.


Adham Al Gofur (26), transjender asal Indramayu pindah ke Kota Cantik, Palangkaraya, delapan tahun lalu bukan tanpa alasan. Keputusan itu ia ambil setelah melewati berbagai pengalaman buruk di tempat tinggal sebelumnya.


Sebelum Adham pindah ke Kota Cantik, julukan Kota Palangkaraya, orang tuanya lebih dahulu pindah ke tempat itu. Ia sempat tinggal dengan keluarganya di Indramayu. Namun, di dalam keluarganya sendiri menolaknya. Adham terusir dari rumahnya.


Dari Indramayu ia pindah ke Bogor. Di Bogor mimpi buruk jadi kenyataan. Ia jatuh cinta kepada seorang kembang desa di sebuah kelurahan tempatnya tinggal. Tapi cinta justru mendorongnya hampir jatuh ke jurang. Identitas Adham diketahui keluarga dan warga di kampung itu lalu menyeretnya ke tengah kebun untuk dihakimi.


“Saya diseret dan diarak keliling kampung. Sampai akhirnya diikat di sebuah pohon,” kata Adham singkat lalu berhenti sebentar saat berbincang dengan Kompas, pada Senin (20/2/2023).


Saat itu, Adham hanya bisa pasrah, ia berseru pada Allah untuk memohon pengampunan di saat yang sama seseorang datang menyiramnya dengan bensin. Adham hanya bisa mendengar teriakan “bakar…bakar” dari sekelilingnya.


Tiba-tiba seseorang datang menyeruak di antara kerumunan. Tanpa bicara ia sibuk melepas ikatan tali di tangan Adham. “Kalau main hakim sendiri, kalian semua di penjara. Bicara baik-baik kan bisa,” kata Adham mengulang perkataan orang yang menyelamatkan dirinya.


Adham selamat dan tak menyentuh kota itu lagi. Ia pun kian mantap untuk pindah ke Palangkaraya. “Sudah biasa, saya memang nomaden, pindah tempat tinggal dan gonta-ganti pekerjaan,” kata Adham.


Di Palangkaraya, ia melihat hal yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya seperti gereja yang dibangun satu tembok dengan masjid. Bagaimana para remaja masjid mengatur lalu lintas dan menjaga gereja di perayaan natal, dan banyak contoh toleransi yang luar biasa. Palangkaraya di Kalimantan Tengah memang disebut Bumi Pancasila sejak 2011 karena nilai toleransi yang tinggi. (Kompas, 6 Juni 2019).


Namun, tempat baru berarti masalah baru untuk Adham. Adham bekerja sebagai bartender di sebuah tempat karaoke. Di tempat itu, upah laki-laki berbeda dengan perempuan karena beban waktu bekerja laki-laki lebih lama. Adham sebagai kepala bar ‘menyapu’ semua tugas lelaki, namun masih diupah sama seperti pegawai perempuan. “Minimnya upah bukan karena kerja tapi karena urusan jender,” ujarnya.


Ia sempat protes ke kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat. Upayanya itu justru berujung pemecatan.


Di hari yang sama usai pemecatan itu, Adham pulang ke kos. Ia hanya ingin pulang dan tidur. Itu pun sulit. Delapan tahun tinggal di Palangkaraya membuat Adham kenal begitu banyak transjender lainnya yang punya masalah sepertinya bahkan lebih rumit.


Begitu tiba, kosnya penuh sesak. Di ruangan berukuran tiga kali lima meter terdapat 15 orang yang tinggal di dalamnya. Tidur pun jadi sulit untuk Adham malam itu.


Adham berusaha menjejalkan tubuhnya ke kasur di antara teman-temannya. Lima orang tidur di ruang depan, lima lagi di ruang tengah dekat kamar mandi dan sisanya tidur di dapur.


Mereka terpaksa tinggal di tempat Adham karena diusir pemilik kos mereka masing-masing. Alasannya satu, identitas mereka. Sebagian besar teman-teman Adham adalah transpuan atau seperti dirinya. “Semua (masalah) terjadi dalam satu hari,” katanya.


Intimidasi juga mengintai mereka. Hingga akhirnya mereka memilih tinggal bersama. Kos milik Adham dinilai aman karena cukup sepi. Hanya ada kebun-kebun warga di sekeliling bangunan kos. Rumah terdekat berjarak 500-600 meter. Selain itu RT setempat tidak terlalu peduli dengan isu jender selama uang kos lancar.



Plang pamflet yang tersebar di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Rabu (22/2/2023). Plang ini tersebar untuk memberikan pesan berbahayanya LGBT dan dianggap sebagai kampanye negatif atau bentuk penolakan Palangkaraya terhadap kelompok tersebut.


Begitu tiba, kosnya penuh sesak. Di ruangan berukuran tiga kali lima meter terdapat 15 orang yang tinggal di dalamnya. Tidur pun jadi sulit untuk Adham malam itu.



Komunitas

Pemahaman Adham tentang identitasnya kian tebal ketika ia bergabung dengan komunitas ESBISQUET Gender Sexuality Minority, sebuah komunitas yang menaungi kelompok yang hanya diisi oleh kelompok lesbian, biseksual, transjender dan queer (LBTQ).


Komunitas ini terbentuk setelah Adham menampung teman-temannya yang punya masalah. Ia membuka diskusi dan ia merasa salah satu solusinya adalah dengan membentuk organisasi.


Pada akhir 2022 lalu, komunitas ini mengadakan konsolidasi dan seruan deklarasi untuk isu kesetaraan gender dan isu minoritas lainnya. Namun, acara itu dibatalkan pemerintah dan aparat. Penolakan tak hanya datang dari pemerintah tetapi juga dari Dewan Adat Dayak (DAD) yang saat itu juga menyerukan penolakan terhadap mereka.


Intimidasi juga mengintai mereka. Hingga akhirnya mereka memilih tinggal bersama. Kos milik Adham dinilai aman karena cukup sepi. Hanya ada kebun-kebun warga di sekeliling bangunan kos. Rumah terdekat berjarak 500-600 meter. Selain itu RT setempat tidak terlalu peduli dengan isu jender selama uang kos lancar.


“Saya berpikir Palangkaraya dengan toleransi yang tinggi tidak sampai demikian, paling enggak saya enggak diseret dan hampir mati seperti di Bogor,” kata Adham khawatir.

Pada akhir 2022 lalu, komunitas ini mengadakan konsolidasi dan seruan deklarasi untuk isu kesetaraan gender dan isu minoritas lainnya. Namun, acara itu dibatalkan pemerintah dan aparat. Penolakan tak hanya datang dari pemerintah tetapi juga dari Dewan Adat Dayak (DAD) yang saat itu juga menyerukan penolakan terhadap mereka.


Mereka berfikir oh iya salah saya kenapa saya mangkal, kenapa saya jadi waria. Padahal mereka mangkal karena memang kesempatan mereka bekerja enggak ada


Ajeng Kartika, salah satu transpuan di komunitas tersebut, mengungkapkan, komunitas itu tak sekadar tempat berkumpulnya kelompok LGBT tetapi juga jadi wadah advokasi. Banyak kasus kekerasan bahkan pembunuhan yang terjadi pada komunitas itu dan sebagian kasus tidak pernah diungkap bahkan tidak ditindaklanjuti.


Dari catatan Esbisquet Palangkaraya, sejak 2016 sampai saat ini terdapat 84 kasus pelecehan dan tindak pidana terhadap kelompok LGBT di Kalimantan Tengah. Hanya empat kasus yang ditindaklanjuti.


Menurut Ajeng, sebagian besar kasus tidak ditindaklanjuti karena korban self stigma atau menyalahkan dirinya sendiri karena identitasnya sebagai transjender atau kelompok LGBT. “Udah lah gak apa-apa toh salah kita (jadi transjender),” katanya.


“Mereka berfikir oh iya salah saya kenapa saya mangkal, kenapa saya jadi waria. Padahal mereka mangkal karena memang kesempatan mereka bekerja enggak ada,” katanya.


Kelompok transpuan memang yang paling banyak penolakan di Kota Palangkaraya. Kompas menyaksikannya langsung saat Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) setahun lalu. Saat itu kelompok transpuan dan transjender lainnya ikut berpartisipasi dan melakukan pawai keliling Kota Palangkaraya. Segala cemooh dan teriakan sepanjang pawai dari masyarakat begitu gemuruh, tak sedikit juga yang acuh.


“Palangkaraya itu anget-anget jahe, jadi enggak jelas juga kadang ditolak, kadang tuh ya biasa aja. Uniknya di sini, kelompok adat juga ada yang menolak kami, padahal kalau komunitas adat di beberapa tempat di Kalteng terbuka saja,” ungkap Ajeng.


Sebelumnya, Wali Kota Palangkaraya Fairid Naparin menegaskan soal penolakan terhadap deklarasi kelompok ini. Menurut Fairid, pemerintah memiliki sikap yang sama dengan agama di mana tak ada ruang untuk kelompok LGBT di Palangkaraya si Kota Cantik. “LGBT ini jelas dilarang Undang- Undang dan agama, Palangkaraya menolak tegas LGBT,” kata Fairid.dilansir kompas.id.


Hal itu bukan sekadar pernyataan, komunitas Esbisquet Palangkaraya tidak bisa mendaftar di Kesbangpol Palangkaraya. Larangan terhadap komunitas serupa juga terus diserukan pemerintah Kota Palangkaraya. Dari pantauan Kompas pada Selasa (21/3/2023), banyak pamflet dipasang di taman-taman Kota Palangkaraya. Pamflet itu bertuliskan bahaya LGBT dan himbauan untuk masyarakat.


Hak asasi manusia

Menurut sosiolog Universitas Palangka Raya (UPR) Yuliana menjelaskan, kelompok transjender tersebar di Kalimantan Tengah. Di desa-desa seperti di Mantangai Hulu, Kapuas, atau Tumbang Samba Katingan itu banyak yang menjadi perias pengantin atau membuka salon. Dengan pekerjaan itu, kehadiran mereka bisa diterima masyarakat.


“Kalau soal pekerjaan enggak masalah, tapi soal orientasi seksual itu jadi banyak perundungan atau diskriminasi. Orientasi itu dianggap tidak sesuai norma, terutama agama,” kata Yuli.


Yuli menambahkan, dalam perspektif sosiologi pengetahuan terdapat istilah konstruksi sosial, bahwa norma agama, sosial dan budaya mengatur cara berperilaku termasuk posisi biner orientasi seksual bahwa pasangan laki-laki adalah perempuan. Posisi itu merupakan bentukan masyarakat bukan kodrati.


“Diskriminasi bisa hadir di tengah canda dan tawa sehari-hari. Butuh proses panjang untuk menghilangkan diskriminasi. Salah satunya dengan cara menghormati keberadaan mereka, karena ini terkait dengan hak asasi manusia,” ujar Yuli.


Menurut dia, diskriminasi bisa diminimalkan dengan menyadari bahwa setiap individu adalah anggota masyarakat. Setiap individu juga perlu beradaptasi dan saling menghargai. (red)