Banjarmasin - Telepon genggam milik Herlinda, Kasi Pidum Kejari Hulu Sungai Tengah, seolah tidak pernah berhenti berdering. Setiap hari ada saja insiden atau perselisihan yang dilaporkan oleh warga Hulu Sungai Tengah, sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan (Kalsel). Sebagai jaksa mediator dengan jargon 'Menghindari Masalah Tanpa Masalah', Herlinda berupaya melakukan pendekatan perkara melalui mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice.


Biasanya kasus yang ia coba hentikan melalui jalur perdamaian ini selalu berhasil. Namun saban hari, Herlinda mendapati sebuah insiden yang cukup sulit ditangani.


Muhammad Syarifudin, seorang pembakal alias kepala desa di Aluan Besar, Kecamatan Batu Benawa, dilarikan ke IGD. Itikad baik Syarifudin untuk membantu warganya yang sedang kesulitan mencari pekerjaan malah dibalas bogem mentah. Pelaku pemukulan tidak terima saat Syarifudin menegor dirinya karena sering menghilangkan barang di kolam regulasi, lokasi kerja baru yang direkomendasikan oleh kepala desa. Pelaku bernama Gerandong ini pun langsung diringkus polisi.


Ketika diminta Herlinda untuk menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme keadilan restoratif, tentu saja Syarifudin menolak. Rasa sakit saat dijotos oleh warganya sendiri saja belum sembuh betul. Akibat perbuatan Gerandong, gigi depan Syarifudin kini ompong. Belum lagi rasa malu yang mesti ditanggung Syarifudin karena kabar penganiayaan ini sudah tersiar seantero desa. Harga dirinya sebagai seorang pemimpin di desa bagai tercabik-cabik.


Herlinda tak lantas menyerah. Ia langsung menemui Syarifudin dalam sebuah kegiatan sosialisasi di Kecamatan Batu Banawa.


"Saya sampaikan ke Bapak, kalau kita menyelesaikan segala sesuatu dengan dendam nggak akan ada habisnya. Ketika damai itu indah, kenapa kita cari masalah? Kenapa kita tidak punya rasa maaf? Orang Tuhan sama Nabi aja pemaaf," ucap wanita berusia 44 tahun ini seraya melancarkan jurusnya.


"Alangkah baiknya seorang pemangku jabatan ketika dianiaya malah memberikan maaf. Wah, jadi luar biasa, patut dicontoh ini."


Rupanya Syarifudin tersentuh oleh ucapan Herlinda barusan. Ia bersedia membuka pintu maaf untuk Gerandong. Setelah melakukan ekspose dengan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, permohonan Restorative Justice untuk Gerandong dikabulkan. Di rumah Restorative Justice yang terletak di Kantor Kepala Desa Aluan Besar, keduanya berpelukan sambil berurai air mata.


Alangkah baiknya seorang pemangku jabatan ketika dianiaya malah memberikan maaf.

- Jaksa Herlinda


Ada beberapa kategori yang wajib dipenuhi agar sebuah kasus tindak pidana bisa diselesaikan melalui keadilan restoratif. Di antaranya ada niat perdamaian dari kedua belah pihak, pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku serta nilai kerugian kurang dari Rp 2,5 juta. Meskipun mendapatkan keadilan restoratif, bukan berarti seseorang boleh melakukan tindak pidana lagi. Perkara yang kerap diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif justice di antaranya adalah penganiayaan dan kecelakaan lalu lintas.


"Kalau perkaranya masih ecek-ecek bisa di-RJ. Lain cerita kalau mereka sudah membunuh, memperkosa dan kerugian materilnya luar biasa besar, tentu saya tidak akan RJ," kata alumni Magister Hukum, Universitas Lambung Mangkurat ini.


Sepanjang tahun 2022 hingga 2023, Herlinda bersama jajaran Kejari Hulu Sungai Tengah berhasil melakukan Restorative Justice sebanyak 16 kasus. Tahun ini, sudah 6 kasus diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Atas prestasinya, Kejari Hulu Sungai Tengah mendapatkan predikat terbaik pertama dan kedua penanganan Restorative Justice Bidang Tindak Pidana Umum Tahun 2022 dan 2023, diberikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan.


Kepala Desa Pasting, Kecamatan Hantakan, Budi Setiawan, turut menyaksikan proses restorative justice yang dilakukan Herlinda ketika terjadi kecelakaan lalu lintas melibatkan warganya. Di waktu subuh, seorang warga Desa Pasting yang berprofesi sebagai satpam rumah sakit menabrak pengendara motor lain. Ia buru-buru karena hendak berangkat kerja. Alhasil korban mengalami luka-luka. Namun korban bersedia memaafkan pelaku karena mereka berdua sudah saling mengenal. Permintaan pendamaian perkara ini disambut baik Herlinda. Ia segera menempuh perjalanan sejauh 25 km menuju Desa Pasting untuk menempuh upaya pendamaian kedua belah pihak.


"Beliau sangat membantu kami dan ke mana pun perkaranya beliau datangi. Malah saat proses RJ di desa kami, beliau bawa snack sendiri buat acara ini. Padahal sudah sewajarnya kami yang siapkan," tutur Budi tidak enak hati.


Jalur komunikasi antara Budi dan kepala desa lain di wilayah Hulu Sungai Tengah dengan Herlinda berjalan dengan baik. Budi kerap melakukan konsultasi terkait setiap permasalahan yang terjadi di desanya. Budi pun tak sungkan meminta bantuan kepada Herlinda ketika ada perkara yang ingin didamaikan.


"Jujur saya pernah menelepon beliau jam 12 malam, beliau masih melayani. Kita juga aktif 1 bulan sekali zoom dengan Bu Herlinda mengenai RJ ini. Bergiliran per kecamatan. Beliau menanyakan kabar. Apa ada permasalahan di desa? Ada yang bisa dibantu atau tidak? Rumah RJ diaktifkan tidak?"



Mendirikan 167 Rumah Restorative Justice


Saat ini di wilayah Hulu Sungai Tengah sudah berdiri 167 Rumah Restorative Justice yang berdiri di atas kantor pembakal atau kepala desa maupun Kantor Kecamatan. Sementara hanya ada satu rumah restorative justice yang dibangun dengan mengeluarkan anggaran, yaitu sebuah pondokan di daerah wisata Pulau Mas. Sebelum perkara masuk ke ranah penegak hukum, rumah restorative justice diharapkan dapat menjadi tempat penyelesaian masalah dengan konsep perdamaian, melalui musyawarah mufakat. Pendirian tempat ini juga ditujukan untuk menghidupkan peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat dengan penegak hukum.


Setelah itu baru mereka menyadari, kita ini menyelesaikan masalah supaya win win solution

- Jaksa Herlinda


Pendirian 167 rumah restorative justice tidak terlepas dari peran serta Herlinda dalam melakukan pendekatan dengan seluruh pemimpin di 161 desa. Wanita yang memiliki suara merdu dan memiliki hobi bermain teater ini turut menginisiasi Rumah Restorative Justice pertama di Kalimantan Selatan, sekaligus menjadi barometer bagi wilayah lain. Tahun 2022, Herlinda diganjar penghargaan sebagai Penggerak Rumah Restorative Justice. Penghargaan itu diberikan oleh Aulia Oktafiandi, Bupati Hulu Sungai Tengah.


"Tidak harus level Kajari untuk bisa melakukan sesuatu. Lagi pula kenapa harus tunggu orang lain, saya tidak punya contoh. Segala sesuatu kegiatan ada penunjukannya dan tentu koordinasi sama pimpinan. Saya kan bawahan sebagai Kasi Pidum. Di atas saya masih ada Kajari. Alhamdulillah Pak Kajari mendukung saya," tutur ibu satu anak ini.


Nekat dan keberanian, dua bekal yang Herlinda bawa saat melakukan perjalanan ke berbagai desa yang konon masih kental dengan praktik dukun dan santet demi memperkenalkan mekanisme restorative justice sekaligus sebagai upaya pendirian Rumah Restorative Justice. Hutan, sungai, jalan berbatu dan jurang juga Herlinda lalui tanpa gentar. Kejari Hulu Sungai Tengah yang awalnya khawatir melepas Herlinda pun tergugah dengan kegigihannya.


"Saya berani pasang badan untuk beliau bukan tanpa alasan. Saat saya terjun ke lapangan, saya melihat betapa rumit dan beratnya menyelesaikan permasalahan melalui RJ. Dengan keterbatasan anggaran (Rp 1,5 juta/kasus) tapi tidak menyurutkan perjuangan beliau dalam memperjuangkan hak masyarakat dalam upaya penegakan hukum yang lebih humanis. Belum lagi dengan medan yang cukup berat karena kita ini di kampung bukan seperti jalanan di Jakarta," kata Yusuf Darmaputra, Kajari Hulu Sungai Tengah yang mengusulkan nama Herlinda sebagai kandidat Adhyaksa Awards 2024 kategori Jaksa Penegak Keadilan Restoratif.


Kini Herlinda tengah bersaing dengan empat kandidat lainnya di kategori yang sama.


Darah Kalimantan di tubuh Herlinda membantunya dalam berdialog dengan warga. Meski tidak semua desa menyambut baik kedatangan Herlinda. Ada pula yang menolak mentah-mentah mekanisme jalur damai itu. Bagi mereka nyawa harus dibayar pula dengan nyawa, pelaku yang bersalah tidak berhak mendapatkan pengampunan.


"Waktu ke sana saya tidak dianggap, mereka menampik 'lebih baik dipenjara puas kita'. Saya bilang begini, kita jangan selalu memposisikan sebagai korban. Seadainya kita atau keluarga dan kerabat kita menjadi tersangka bagaimana?" imbuh Herlinda, yang pernah menjabat sebagai Kasi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejari Balangan pada 2013.


"Rupanya nggak lama dari desa itu ada perkara dan minta RJ ke saya. Setelah itu baru mereka menyadari, kita ini menyelesaikan masalah supaya win win solution." ***