DR. H. Ahyar Wahyudi |
Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik
Pendahuluan
Demokrasi di Indonesia sedang menghadapi tantangan signifikan yang dapat menguji ketahanan dan kematangannya. Pemilu 2024 menjadi medan ujian besar di mana berbagai elemen, termasuk polarisasi, politik identitas, dan revisi Undang-Undang terkait pemilihan kepala daerah, memainkan peran krusial dalam menentukan arah masa depan demokrasi. Perspektif ilmu administrasi, dengan fokus pada tata kelola, kebijakan publik, dan manajemen konflik, memberikan landasan yang kokoh untuk menganalisis dinamika ini dengan tajam dan kritis.
Polarisasi dan Manajemen Konflik dalam Administrasi Publik
Dalam administrasi, manajemen konflik adalah salah satu aspek kunci yang harus diantisipasi dalam menghadapi dinamika sosial-politik. Menurut teori manajemen konflik oleh Rahim (2002), konflik dapat dikelola melalui strategi integratif yang berfokus pada kepentingan bersama. Namun, ketika konflik didorong oleh aktor-aktor politik yang memanfaatkan isu-isu sensitif seperti identitas, potensi polarisasi menjadi lebih kuat. Polarisasi, dalam hal ini, merujuk pada keterbelahan masyarakat yang tajam akibat perbedaan pandangan politik yang diperkuat oleh retorika dan narasi yang disebarkan oleh berbagai media.
Teori agenda-setting oleh McCombs dan Shaw (1972) menggarisbawahi bagaimana media memainkan peran penting dalam menentukan isu-isu yang dianggap penting oleh publik. Dalam situasi di mana media lebih banyak mengangkat isu-isu kontroversial yang bersifat memecah belah, hal ini dapat memperburuk polarisasi. Dari perspektif administrasi publik, hal ini menciptakan tantangan besar bagi para pembuat kebijakan untuk menjaga stabilitas sosial dan memastikan bahwa tata kelola pemerintahan tetap berjalan secara efektif.
Politik Identitas dan Dampaknya terhadap Tata Kelola
Politik identitas, ketika digunakan sebagai alat dalam kampanye politik, memiliki dampak yang signifikan terhadap tata kelola pemerintahan. Berdasarkan teori sistem sosial oleh Niklas Luhmann (1995), sistem politik harus mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan sistem lain dalam masyarakat tanpa menciptakan ketegangan yang berlebihan. Namun, ketika politik identitas mendominasi wacana publik, hal ini dapat mengganggu keseimbangan dalam sistem politik dan memperburuk konflik antar kelompok.
Administrasi, yang berfungsi sebagai pengelola kebijakan publik, harus mampu merespons dinamika ini dengan kebijakan yang inklusif dan mengutamakan kepentingan bersama. Teori administrasi oleh Woodrow Wilson (1887) menekankan pentingnya pemisahan antara politik dan administrasi untuk memastikan bahwa kebijakan yang diimplementasikan bersifat objektif dan tidak dipengaruhi oleh tekanan politik. Namun, dalam realitas politik yang sarat dengan identitas, sulit untuk menjaga pemisahan ini, sehingga administrasi publik sering kali terjebak dalam dilema antara kepentingan politik dan kepentingan publik yang lebih luas.
Revisi Kebijakan dan Legitimasi dalam Administrasi
Revisi Undang-Undang yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah telah menimbulkan perdebatan sengit, terutama terkait dengan bagaimana keputusan ini dapat memengaruhi legitimasi pemerintahan. Dari sudut pandang administrasi, legitimasi adalah elemen krusial yang memastikan bahwa kebijakan diterima oleh publik dan diimplementasikan secara efektif. Weber (1978) menekankan bahwa legitimasi dalam birokrasi diperoleh melalui legalitas dan rasionalitas prosedur yang dijalankan. Namun, ketika kebijakan yang dihasilkan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, legitimasi tersebut dapat runtuh.
Teori legitimacy gap yang dikemukakan oleh Suchman (1995) menggambarkan bagaimana kesenjangan antara harapan publik dan realitas kebijakan dapat menurunkan kepercayaan terhadap institusi publik. Dalam hal ini, jika revisi undang-undang tidak sejalan dengan putusan hukum yang final dan mengikat, seperti yang diharapkan oleh masyarakat, maka akan terjadi krisis legitimasi yang berdampak negatif pada stabilitas politik dan tata kelola pemerintahan.
Peran Media dalam Membangun atau Merusak Legitimasi
Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik tentang legitimasi pemerintahan. Teori framing oleh Entman (1993) menyoroti bagaimana media dapat mempengaruhi cara publik memahami isu-isu politik melalui cara pemberitaan dan narasi yang dibangun. Dalam kasus revisi kebijakan terkait pemilihan, jika media membingkai keputusan tersebut sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan politik tertentu, hal ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Namun, dari perspektif administrasi publik, media juga memiliki potensi untuk mendukung proses demokrasi dengan menyediakan informasi yang akurat dan mendalam kepada publik. Teori public sphere oleh Habermas (1989) menekankan pentingnya ruang publik yang terbuka di mana warga negara dapat berdiskusi dan berdebat tentang kebijakan publik. Media, dalam hal ini, harus berperan sebagai fasilitator diskusi yang konstruktif dan mendorong partisipasi publik yang aktif dalam proses demokrasi.
Akademisi dan Pengawasan Demokrasi melalui Administrasi Publik
Peran akademisi dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan publik tidak bisa diabaikan. Mereka berfungsi sebagai penjaga moralitas dan integritas dalam sistem administrasi publik. Gramsci (1971) dalam teorinya tentang masyarakat sipil, melihat akademisi sebagai bagian penting dari masyarakat yang berperan dalam membentuk kesadaran kritis terhadap kebijakan publik dan melawan hegemoni kekuasaan. Ketika revisi undang-undang dilakukan dengan mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan, akademisi harus bersuara dan memberikan analisis kritis yang dapat digunakan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan kebijakan.
Dukungan akademisi, seperti yang terlihat dalam pernyataan sikap dari lebih dari 1000 akademisi di salah satu universitas terkemuka, menunjukkan bahwa ada kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga integritas sistem hukum dan administrasi publik. Mereka menekankan bahwa kebijakan publik harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kepentingan publik, bukan pada kepentingan politik sempit yang dapat merusak tatanan demokrasi.
Teori Administrasi dalam Menjaga Stabilitas Demokrasi
Teori administrasi klasik, seperti yang dikemukakan oleh Max Weber (1922), menekankan pentingnya birokrasi yang efisien dan rasional dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Birokrasi yang efektif harus mampu beradaptasi dengan perubahan politik tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hukum dan etika publik. Namun, ketika birokrasi dipolitisasi, seperti yang sering terjadi dalam sistem politik yang didominasi oleh politik identitas, efisiensi dan rasionalitas dapat terganggu, yang pada akhirnya merusak stabilitas demokrasi.
Dalam hal ini, teori administrasi yang lebih modern, seperti yang dikemukakan oleh Denhardt dan Denhardt (2003) dalam New Public Service, menekankan pentingnya pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat dan partisipasi aktif dari warga negara. Administrasi publik tidak boleh hanya berfungsi sebagai pelaksana kebijakan yang ditentukan oleh elit politik, tetapi juga sebagai mediator antara kepentingan publik dan kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah.
Mengarahkan Demokrasi pada Rel yang Benar
Demokrasi dapat dianalogikan sebagai sebuah kapal besar yang berlayar di lautan politik yang penuh dengan gelombang dan badai. Kapal ini hanya akan mencapai tujuannya jika para nahkoda—yakni pembuat kebijakan, administrator, dan masyarakat sipil—mampu bekerja sama untuk menjaga agar kapal tetap berada di jalurnya. Ketika politik identitas dan kepentingan sempit mulai menguasai kemudi, kapal ini berisiko tersesat dan tenggelam.
Dalam kata-kata bijak, "Democracy is not a destination, but a journey—a voyage that requires constant vigilance, collaboration, and a shared commitment to the principles of justice and equality." Demokrasi tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang sudah selesai dan sempurna, melainkan sebagai proses yang terus-menerus diperbaiki dan diperkuat melalui partisipasi aktif dan pengawasan dari semua elemen masyarakat.
Kesimpulan
Pada akhirnya, semua elemen masyarakat harus bersatu dalam komitmen untuk menjaga agar demokrasi tetap berada di jalur yang benar, sehingga kapal demokrasi dapat terus berlayar menuju tujuan yang lebih baik dan lebih adil.
Referensi
- 1. Denhardt, J. V., & Denhardt, R. B. (2003). The New Public Service: Serving, Not Steering. M.E. Sharpe.
- 2. Entman, R. M. (1993). Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm. Journal of Communication, 43(4), 51-58.
- 3. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
- 4. Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. MIT Press.
- 5.Luhmann, N. (1995). Social Systems. Stanford University Press.
- 6. McCombs, M. E., & Shaw, D. L. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass Media. Public Opinion Quarterly, 36(2), 176-187.
- 7. Rahim, M. A. (2002). Toward a Theory of Managing Organizational Conflict. The International Journal of Conflict Management, 13(3), 206-235.
- 8. Suchman, M. C. (1995). Managing Legitimacy: Strategic and Institutional Approaches. Academy of Management Review, 20(3), 571-610.
- 9. Weber, M. (1922). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. University of California Press.
- 10. Wilson, W. (1887). The Study of Administration. Political Science Quarterly, 2(2), 197-222.
Berita