“Bila cermin itu retak, bayangannya akan terbelah. Begitu pula dengan integritas—saat ia tergadai, masyarakat menjadi korban dari pantulan yang pecah.”
Mengawali dari kata bijak ini, kita dituntun pada satu refleksi mendalam tentang krisis integritas yang melanda Bumi Antasari, yang seolah merentangkan tirai kebobrokan tata kelola baik dalam dunia akademik maupun pemerintahan. Dari skandal akademisi hingga korupsi pejabat publik, fenomena ini mengungkapkan permasalahan sistemik yang tak bisa dipandang sebelah mata. Bila kita menarik benang dari perspektif ilmu administrasi, maka terlihat bahwa krisis ini bukanlah sekadar soal moralitas, tapi juga kegagalan dalam tata kelola yang sehat.
Teori Agensi dan Krisis Tata Kelola: Bagaimana Sistem Gagal Melindungi Integritas
Dalam kerangka teori agensi (Jensen & Meckling, 1976), hubungan antara agen (manajer atau pejabat) dan prinsipal (pemilik atau rakyat) mengandung potensi konflik yang besar. Agen, yang diberi kepercayaan untuk mengelola sumber daya, bisa saja memanfaatkan posisinya demi keuntungan pribadi. Kasus akademik yang mencuat di Bumi Antasari menunjukkan bagaimana para dosen—yang seharusnya menjadi pelaku intelektual dengan standar etika tinggi—malah terjebak dalam sistem yang rusak, di mana publisitas dan angka kredit lebih penting dari kualitas substansi. Dengan mengirimkan artikel ke jurnal predator, mereka telah menanggalkan esensi akademik demi pencapaian jabatan.
Kasus ini seolah melukiskan bagaimana pengawasan akademik gagal menegakkan integritas. Dalam dunia pendidikan, universitas seharusnya menjadi institusi yang menjaga kualitas dan kebenaran. Namun, di sini kita melihat bagaimana moral hazard bekerja; di mana dosen, sebagai agen yang memiliki lebih banyak informasi dan kekuasaan dibandingkan pengawas, merasa aman dalam melakukan penyimpangan tanpa takut konsekuensi serius. Tidak adanya sistem akuntabilitas yang kuat membuka ruang bagi mereka yang ingin mengeksploitasi celah ini.
Governance dan Lemahnya Pengawasan: Analisis dari Perspektif Ilmu Administrasi
Dalam administrasi publik, konsep governance tidak hanya berfokus pada kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga memastikan adanya transparansi, partisipasi, dan pengawasan yang efektif. Krisis integritas di Bumi Antasari, baik di sektor akademik maupun pemerintahan, menunjukkan lemahnya pengawasan dan kurangnya akuntabilitas. Universitas, misalnya, gagal menyediakan komite etika independen yang dapat melakukan audit atas publikasi ilmiah dosen. Akibatnya, praktik pengajuan karya akademik ke jurnal predator menjadi budaya yang diterima sebagai jalan pintas untuk mencapai jabatan guru besar.
Hal serupa juga terjadi dalam pemerintahan. Pejabat publik yang seharusnya mengelola anggaran negara dengan bijak, justru menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Dalam teori public choice (Buchanan & Tullock, 1962), perilaku semacam ini dijelaskan sebagai tindakan individu yang cenderung memaksimalkan keuntungan pribadi di atas kepentingan publik, dengan menggunakan kekuasaan yang diberikan padanya oleh masyarakat. Di sini, akuntabilitas yang hilang membuka jalan bagi korupsi yang merajalela. Ketika sistem pengawasan melemah, pejabat publik merasa bebas untuk bertindak tanpa konsekuensi, menjadikan proyek-proyek pembangunan sebagai ladang keuntungan pribadi.
Sistem yang lemah ini tidak hanya berdampak pada kinerja organisasi, tetapi juga memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Rakyat yang seharusnya dilayani dengan penuh tanggung jawab justru menjadi korban dari sistem yang korup. Ketika proyek-proyek publik tersendat akibat korupsi, masyarakatlah yang menanggung akibatnya—jalan yang rusak tak kunjung diperbaiki, pelayanan publik terganggu, dan akses ke fasilitas kesehatan serta pendidikan menjadi semakin sulit.
Teori Transaksi Biaya: Bagaimana Sistem Mengorbankan Integritas untuk Efisiensi Semu
Dari perspektif transaction cost theory (Williamson, 1981), setiap organisasi harus menanggung biaya transaksi dalam menjalankan kegiatannya—baik itu dalam hal pengawasan, negosiasi, maupun pelaksanaan aturan. Ketika universitas atau pemerintah daerah berupaya mengurangi biaya ini dengan melemahkan sistem pengawasan atau mengabaikan regulasi ketat, mereka sebenarnya membuka jalan bagi terjadinya praktik-praktik tidak etis. Universitas, misalnya, memilih untuk fokus pada output dalam bentuk jumlah guru besar yang dihasilkan, tanpa memperhatikan proses yang benar dalam pencapaian tersebut. Begitu pula dalam pemerintahan, pengurangan biaya pengawasan sering kali menjadi alasan di balik kurangnya audit internal yang memadai terhadap penggunaan dana publik.
Pengurangan biaya transaksi ini, meskipun pada awalnya tampak menguntungkan secara efisiensi, pada akhirnya akan menimbulkan biaya yang jauh lebih besar dalam bentuk korupsi, penurunan mutu, dan hilangnya kepercayaan masyarakat. Di Bumi Antasari, pengabaian atas proses ini telah menimbulkan krisis di dua sektor vital: pendidikan dan pemerintahan. Dalam jangka panjang, biaya yang ditanggung masyarakat jauh lebih besar dari apa yang mungkin dianggap efisiensi semu oleh para pengambil keputusan.
Etika Kepemimpinan: Membangun Kembali Kepercayaan yang Retak
Dalam menghadapi krisis ini, kepemimpinan yang beretika memegang peran penting dalam memulihkan integritas. Teori etika kepemimpinan (Ciulla, 2004) menekankan bahwa pemimpin harus menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai moral, bukan hanya berfokus pada hasil. Di dunia akademik, para rektor, dekan, dan guru besar harus menjadi contoh bagaimana sebuah universitas bisa berdiri tegak dengan integritas sebagai pondasi utamanya. Begitu pula di pemerintahan, pejabat publik harus menunjukkan bahwa kekuasaan yang mereka miliki adalah amanah yang harus digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk keuntungan pribadi.
Pemimpin yang berintegritas tidak hanya mempengaruhi sistem internal organisasi, tetapi juga menularkan nilai-nilai tersebut kepada seluruh lapisan masyarakat. Ketika integritas menjadi prinsip utama yang ditunjukkan oleh para pemimpin, maka masyarakat akan mulai mempercayai kembali institusi-institusi yang selama ini dianggap korup dan tidak dapat diandalkan. Hal ini sejalan dengan teori social learning dari Bandura (1977), di mana perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin menjadi panutan bagi orang-orang di sekitarnya.
Namun, kepemimpinan yang beretika tidak bisa berjalan sendirian. Sistem pengawasan yang kuat dan transparan juga harus diperkuat. Di sinilah konsep good governance (Stoker, 1998) menjadi relevan, di mana tata kelola yang baik melibatkan partisipasi aktif semua pemangku kepentingan, baik dari internal maupun eksternal organisasi. Pemerintah daerah dan universitas harus membangun mekanisme pengawasan yang tidak hanya berbasis pada aturan, tetapi juga berbasis pada akuntabilitas publik, di mana masyarakat bisa ikut serta mengawasi jalannya pemerintahan dan pendidikan.
Masyarakat sebagai Pengawas dan Pemangku Kepentingan
Di tengah krisis integritas ini, masyarakat tidak bisa hanya menjadi korban. Mereka juga harus menjadi bagian dari solusi. Dalam teori stakeholder (Freeman, 1984), masyarakat, sebagai pemangku kepentingan utama dalam sistem pemerintahan dan pendidikan, memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan serta pengawasan. Dalam konteks ini, masyarakat di Bumi Antasari perlu diberdayakan untuk aktif mengawasi jalannya pemerintahan dan pendidikan, melalui mekanisme yang memungkinkan mereka memberikan masukan dan melaporkan pelanggaran tanpa takut akan konsekuensi.
Transparansi harus menjadi elemen penting dalam membangun kembali kepercayaan. Pemerintah daerah harus membuka akses informasi mengenai penggunaan anggaran publik dan proyek-proyek pembangunan yang sedang berjalan, sehingga masyarakat dapat ikut serta memantau pelaksanaannya. Begitu pula di dunia akademik, universitas harus melibatkan mahasiswa, dosen, dan publik dalam upaya meningkatkan kualitas akademik serta menjaga integritas proses pengajuan jabatan.
Penutup: Jalan Menuju Integritas dalam Tata Kelola
Krisis integritas di Bumi Antasari menggambarkan bagaimana keruntuhan nilai-nilai etika dalam tata kelola dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat. Dari perspektif ilmu administrasi, solusi atas krisis ini tidak hanya terletak pada reformasi sistem, tetapi juga pada pemulihan nilai-nilai etika dalam setiap tindakan dan kebijakan. Tata kelola yang baik hanya bisa terwujud jika semua pemangku kepentingan, mulai dari akademisi hingga pejabat publik, bekerja dengan integritas dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang mereka buat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sufi dari Turkiye, “Integritas adalah sepertinya api yang membakar, menghilangkan semua ilusi dan kebohongan, hingga hanya kebenaran yang tersisa.” Di balik kabut yang menyelimuti Bumi Antasari, integritas adalah satu-satunya cahaya yang bisa menuntun kita keluar dari krisis ini.
Oleh: DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Berita