Pemilu bagi sebagian besar masyarakat di negeri ini bukanlah sekadar momen politik, tetapi seperti angin yang berhembus di tengah gurun panjang. Dalam deretan hari yang penuh ketidakpastian, pemilu hadir sebagai festival yang langka, membawa rezeki dalam genggaman. Bagi sebagian orang, pemilu adalah pasar malam yang ramai, di mana setiap janji dan harapan terpampang sebagai barang dagangan, dan amplop-amplop berisi uang berpindah tangan. Bagi mereka yang hidup dalam kesederhanaan, politik uang adalah angin segar di tengah gersangnya janji yang sering kali menguap. Uang itu bagaikan hujan yang menetes di musim kemarau—sederhana, tetapi terasa nyata dan berguna. Mengapa harus menolak?
Banyak yang berkata bahwa uang ini mungkin berasal dari sumber yang tidak bersih, atau bahwa politik uang adalah pelanggaran yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Masyarakat menyadarinya, tetapi mereka juga memahami bahwa program-program besar atau janji yang digaungkan selama kampanye tidak serta-merta memberikan dampak langsung pada hidup mereka. Dari sudut pandang masyarakat, politik uang adalah keputusan rasional dan mungkin satu-satunya cara untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan sesuatu yang nyata dari momen politik yang tidak mereka nikmati setiap hari.
Perspektif Sosiologi: Politik Uang sebagai Pilihan Rasional dalam Relasi Kekuasaan
Sosiologi memberi kita perspektif yang lebih luas tentang fenomena politik uang, yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di berbagai negara dengan kondisi ekonomi yang mirip. Salah satu konsep yang digunakan untuk memahami fenomena ini adalah konsep patron-client. Di sini, masyarakat yang kurang beruntung (client) memiliki hubungan timbal balik dengan kandidat politik (patron) yang memiliki sumber daya. Pihak yang berkekuasaan ini memberikan bantuan dalam bentuk uang atau barang sebagai imbalan dukungan. Relasi semacam ini bukanlah hal baru dan telah ada dalam praktik sosial selama berabad-abad.
Dalam relasi patron-client, dukungan masyarakat dianggap sebagai imbalan yang wajar atas sumber daya yang mereka terima. Mereka memahami bahwa politik uang bukan sekadar alat untuk memengaruhi, tetapi sebuah bentuk pertukaran yang mendatangkan manfaat langsung. Ini berbeda dengan janji-janji politik yang terkadang terasa jauh dari kenyataan. Dengan adanya politik uang, masyarakat merasakan kehadiran yang lebih nyata dari para kandidat. Dalam situasi ini, menerima uang adalah bagian dari hak mereka, bagian dari hubungan timbal balik yang tercipta dari sistem politik yang mereka hadapi.
Selain itu, teori exchange theory dalam sosiologi juga membantu menjelaskan mengapa masyarakat memandang politik uang sebagai keputusan yang logis. Exchange theory menegaskan bahwa hubungan sosial melibatkan pertukaran yang dianggap setara oleh pihak-pihak yang terlibat. Dengan menerima uang dari kandidat, masyarakat merasa bahwa mereka telah memenuhi bagian mereka dalam pertukaran sosial ini. Bagi mereka, politik uang bukanlah suap, melainkan bentuk pengakuan kecil atas hak mereka yang selama ini terabaikan.
Perspektif Antropologi: Tradisi Saling Memberi dalam Budaya Lokal
Dalam pandangan antropologi, tindakan menerima uang dari kandidat bukanlah sekadar bentuk pragmatisme, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai budaya lokal yang menghargai gotong royong dan timbal balik. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi norma sosial yang melibatkan pemberian atau hadiah sebagai bentuk penghormatan. Clifford Geertz, seorang antropolog terkenal, dalam studinya tentang budaya Jawa menyebutkan bahwa interaksi sosial di masyarakat sering kali mengedepankan konsep “saling berbagi” yang dianggap memperkuat hubungan sosial.
Masyarakat di banyak daerah melihat politik uang sebagai bentuk penghormatan dari kandidat yang mendatangi mereka secara langsung, sesuatu yang jarang terjadi di luar masa pemilu. Dalam konteks budaya gotong royong, menolak pemberian dianggap sebagai tindakan yang kurang sopan atau bahkan menyinggung mereka yang memberikan. Oleh karena itu, menerima uang dianggap sebagai bagian dari penghormatan pada hubungan sosial yang terjalin.
Perspektif ini juga memperlihatkan bahwa masyarakat memandang politik uang bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan sebagai bentuk pengakuan yang menghargai mereka sebagai bagian dari komunitas yang terikat dalam norma sosial. Dalam pandangan ini, politik uang tidak dipandang sebagai pelanggaran, melainkan sebagai wujud dari kebudayaan lokal yang menerima bantuan atau pemberian sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Perspektif Ekonomi: Politik Uang sebagai Redistribusi Kekayaan
Dari perspektif ekonomi, politik uang dianggap oleh masyarakat sebagai salah satu bentuk redistribusi kekayaan yang jarang mereka rasakan. Dalam teori ekonomi moral yang dikemukakan oleh James C. Scott, kelompok masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi sering kali merasa bahwa mereka berhak mendapatkan bagian dari sumber daya yang lebih banyak dinikmati oleh elit. Dalam konteks ini, politik uang dianggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk memperoleh “hak informal” atas kekayaan yang tidak merata.
Pada masyarakat yang hidup dalam ketimpangan ekonomi, pemilu menjadi momen yang dianggap berharga karena pada saat itulah mereka merasa dihargai. Dalam pandangan ini, politik uang bukanlah bentuk manipulasi, tetapi justru menjadi kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan manfaat langsung yang mungkin tidak mereka dapatkan dalam waktu yang lama. Terlebih lagi, banyak masyarakat yang paham bahwa janji-janji politik jarang memberikan perubahan yang nyata bagi mereka, sehingga menerima uang dari kandidat adalah cara untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat dari proses politik yang berjalan.
Teori rational choice atau pilihan rasional dalam ekonomi juga mendukung pandangan ini. Masyarakat yang hidup dalam kondisi sulit akan cenderung memilih tindakan yang memberikan manfaat langsung dan pasti bagi mereka. Dalam pemikiran ini, politik uang bukanlah penyimpangan, melainkan keputusan yang logis dan rasional di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Perspektif Hukum: Asas Keadilan dalam Ketimpangan Struktural
Dari sisi hukum, politik uang sering kali dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pemilu yang adil dan jujur. Namun, masyarakat yang menerima politik uang memiliki pandangan yang berbeda terhadap konsep keadilan. Mereka memandang bahwa hukum formal tidak selalu memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi mereka, terutama ketika sistem yang ada tidak merata dalam memberikan kesejahteraan. Dalam perspektif ini, mereka merasa bahwa menerima uang dari kandidat adalah bagian dari hak mereka untuk merasakan sedikit dari keuntungan yang biasanya dinikmati oleh kalangan elit.
Dalam teori keadilan, ada konsep equity, yaitu upaya untuk memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mereka yang kurang beruntung agar mendapatkan akses yang setara dengan yang lain. Masyarakat merasa bahwa politik uang adalah bentuk dari equity yang mereka terima, meskipun tidak melalui jalur formal. Mereka menganggap bahwa ini adalah bagian dari keseimbangan yang memberikan mereka akses pada sumber daya yang biasanya tidak tersedia dalam sistem pemerintahan.
Asas keadilan distributif juga relevan dalam perspektif ini. Menurut prinsip ini, keadilan tidak hanya berbicara tentang persamaan di mata hukum, tetapi juga tentang distribusi sumber daya yang dapat menjangkau semua orang. Ketika mereka merasa bahwa kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya memberikan mereka keadilan atau kesejahteraan, menerima politik uang dianggap sebagai langkah untuk memperoleh sedikit keadilan dari sistem yang mereka anggap tidak memadai.
Perspektif Psikologi Sosial: Sikap Terhadap Risiko dan Persepsi Manfaat
Psikologi sosial menyoroti bahwa perilaku individu sering kali dipengaruhi oleh persepsi manfaat dan sikap mereka terhadap risiko. Dalam kasus politik uang, masyarakat yang menerima uang dari kandidat cenderung lebih fokus pada manfaat langsung yang bisa mereka dapatkan daripada risiko atau konsekuensi jangka panjang. Mereka melihat bahwa manfaat yang diperoleh dari uang tersebut lebih nyata dibandingkan dengan janji yang mungkin tidak akan pernah mereka rasakan.
Teori social exchange atau pertukaran sosial membantu menjelaskan bahwa interaksi sosial melibatkan bentuk pertukaran yang dianggap adil dan sepadan oleh pihak-pihak yang terlibat. Dalam pemahaman ini, menerima uang dari kandidat dianggap sebagai imbalan yang pantas atas dukungan mereka. Masyarakat merasa bahwa keputusan untuk menerima politik uang adalah tindakan yang wajar, terutama ketika mereka melihat bahwa para kandidat tidak selalu membawa perubahan signifikan dalam kehidupan mereka.
Selain itu, psikologi sosial menunjukkan bahwa masyarakat yang sering kali hidup dalam ketidakpastian ekonomi akan cenderung memilih keputusan yang dapat memberikan manfaat konkret di depan mata. Mereka mungkin menyadari bahwa politik uang adalah praktik yang tidak ideal, tetapi dalam kenyataan hidup yang sulit, tindakan ini dianggap lebih baik daripada menaruh harapan pada janji yang tidak pasti.
Perspektif Etika: Politik Uang sebagai Kebutuhan Moral dalam Kehidupan Masyarakat
Dalam etika, ada konsep yang disebut utilitarianism atau teori manfaat terbesar. Menurut teori ini, tindakan yang memberikan manfaat terbesar bagi sebagian besar orang dianggap sebagai tindakan yang paling tepat. Dalam konteks ini, masyarakat yang menerima politik uang dapat dianggap membuat keputusan berdasarkan prinsip utilitarianism, di mana mereka menilai bahwa menerima uang dari kandidat adalah pilihan yang memberikan manfaat langsung bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Selain itu, dalam etika tradisional, ada juga pandangan bahwa setiap individu berhak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan cara apapun yang mungkin. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan ketidakadilan sosial, masyarakat sering kali merasa bahwa menerima politik uang adalah pilihan moral yang sah, karena uang tersebut dapat memenuhi kebutuhan mendesak mereka. Pandangan ini menunjukkan bahwa politik uang bagi sebagian masyarakat adalah bentuk pemenuhan kebutuhan dasar yang dianggap sebagai hak yang layak mereka terima.
Hikmah dari Sufi atau Filsuf
Di balik semua pemahaman ini, masyarakat memandang politik uang bukan sebagai tindakan yang salah, tetapi sebagai keputusan pragmatis yang membawa sedikit manfaat di tengah realitas yang mereka hadapi. Dalam kearifan sufi, ada ungkapan bijak yang berbunyi, “Jangan berharap terlalu banyak pada apa yang tidak kau miliki; terimalah apa yang ada di depan mata.” Bagi masyarakat, politik uang adalah sesuatu yang ada di depan mata mereka, dan mereka memilih untuk menerimanya sebagai bagian dari kehidupan.
Seperti yang dikatakan oleh filsuf Yunani, Epiktetus, “Kebahagiaan adalah menerima apa yang kau miliki, bukan mengejar apa yang tidak ada.” Bagi masyarakat yang sering kali dikecewakan oleh janji politik, politik uang adalah bentuk dari penerimaan akan kenyataan. Mereka tidak berharap pada janji yang sulit untuk diwujudkan, tetapi menerima rezeki kecil yang bisa mereka rasakan saat ini. Dari pandangan ini, politik uang bukan lagi sekadar transaksi, tetapi sebuah pilihan rasional di tengah dunia yang sering kali sulit dipahami.
Berita