Ahyar Wahyudi |
Pembukaan: Di Persimpangan Janji dan Karma
Di Banjarbaru, Pilkada kali ini penuh dengan nuansa—ada janji besar, drama pengkhianatan, dan cerita-cerita penuh emosi yang berusaha meraih simpati. Di balik semua itu, masyarakat berdiri di persimpangan, mencoba memahami siapa yang sebenarnya menawarkan perubahan dan siapa yang sekadar bermain peran. Ada yang hadir dengan janji pemberdayaan, ada pula yang menyuarakan ketidakadilan. Tetapi di balik semua narasi ini, ada sebuah prinsip sederhana yang mengikat semua tindakan: hukum sebab-akibat.
Kho Ping Hoo, seorang penulis cerita silat yang sarat kebijaksanaan, sering kali mengingatkan kita akan hukum sebab-akibat ini. Dalam setiap ceritanya, dia menekankan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, bahwa setiap niat membawa akibat, entah itu baik atau buruk. Ketika kita melihat Paslon 01 dan Paslon 02 di panggung Pilkada ini, kita bisa belajar dari ajaran Kho Ping Hoo. Apakah janji yang mereka tawarkan benar-benar didasari niat baik? Ataukah drama korban hanyalah taktik politik untuk meraih simpati?
Paslon 01: Janji Pemberdayaan yang Didukung oleh Niat Baik
Paslon 01 datang dengan pendekatan yang menarik: blusukan dan janji pemberdayaan UMKM. Mereka bicara tentang kekuatan ekonomi lokal dan pentingnya dukungan bagi usaha kecil. Ini adalah janji yang terasa relevan bagi masyarakat yang selama ini berjuang dengan usaha mikro dan kecil. Seperti konsep capability approach yang diajukan oleh Amartya Sen, mereka menawarkan sebuah visi di mana masyarakat punya kebebasan untuk hidup dengan mandiri, tanpa bergantung pada bantuan yang datang dan pergi.
Namun, janji besar selalu membutuhkan dasar yang kuat, yaitu niat baik. Dalam setiap kisah pendekar silat, Kho Ping Hoo menekankan bahwa niat baik adalah fondasi utama dari setiap tindakan. Paslon 01 tampaknya memahami hal ini—mereka hadir dengan janji untuk memperkuat masyarakat dari akar rumput, bukan untuk sekadar memenangkan hati. Tetapi masyarakat juga harus kritis. Setiap janji harus diimbangi dengan pertanyaan: apakah ini benar-benar tentang kebaikan, atau hanya tentang suara? Seperti kata Bu Kek Siansu dalam cerita Kho Ping Hoo, "Niat adalah dasar, dan dasar yang kuat tidak akan tumbang."
Paslon 02: Drama Korban dan Hukum Karma yang Mengintai
Di sisi lain, ada Paslon 02 yang telah didiskualifikasi oleh KPU, tetapi memilih untuk memainkan narasi korban. Mereka mengklaim bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil, bahwa demokrasi di Banjarbaru telah "dipatahkan." Di sini, kita bisa melihat bagaimana teori framing dari Erving Goffman berperan—dengan membingkai cerita sebagai ketidakadilan, Paslon 02 mencoba menggiring opini bahwa mereka adalah pihak yang tertindas. Mereka berharap bahwa masyarakat akan simpati pada mereka sebagai korban, bukan sebagai pelanggar aturan.
Tapi, Kho Ping Hoo punya pelajaran penting tentang karma yang mungkin bisa kita renungkan. Dalam cerita-ceritanya, setiap pendekar yang memilih jalan jahat atau mengabaikan niat baik akan menuai akibatnya. Karma adalah keseimbangan yang menuntut tanggung jawab. Jika Paslon 02 didiskualifikasi karena melanggar aturan, maka ada konsekuensi dari tindakan itu. Memainkan peran sebagai korban mungkin bisa menggugah simpati, tetapi hukum karma, atau sebab-akibat, tidak pernah melupakan siapa yang melanggar dan siapa yang berjalan di jalur benar. Bagi Kho Ping Hoo, keadilan selalu datang pada waktunya.
KPU dan Hukum Sebab-Akibat dalam Proses Demokrasi
Keputusan KPU untuk mendiskualifikasi Paslon 02 bukanlah keputusan yang ringan. Sebagai lembaga independen, mereka harus menegakkan aturan yang berlaku. Dalam setiap kisah pendekar, Kho Ping Hoo menekankan bahwa tindakan yang berdasarkan aturan dan niat baik akan membawa keadilan. Jika Paslon 02 didiskualifikasi karena aturan yang mereka langgar, maka ini adalah bentuk hukum sebab-akibat dalam demokrasi.
Namun, masyarakat seringkali melihat keputusan seperti ini sebagai ancaman, terutama ketika narasi korban begitu kuat. Kita dihadapkan pada pilihan: apakah kita akan percaya pada aturan yang menjaga keseimbangan, atau kita akan terbawa oleh cerita tentang ketidakadilan? Sebagai penulis yang netral, saya percaya bahwa demokrasi bukanlah panggung drama, tetapi sebuah proses yang membutuhkan tanggung jawab dan keadilan. KPU ada di sini bukan untuk berpihak, tetapi untuk menjaga proses tetap bersih dan adil.
Pesan: Jangan Terbuai oleh Janji dan Drama, Pilih dengan Bijak
Kho Ping Hoo mengingatkan kita bahwa setiap tindakan membawa akibat. Di Pilkada ini, kita harus menilai setiap janji dan setiap cerita dengan hati-hati. Jangan biarkan diri kita terbawa oleh emosi yang hanya menyamarkan kebenaran. Kita harus bisa melihat mana yang benar-benar punya niat baik untuk Banjarbaru, dan mana yang sekadar memainkan drama untuk mendapat simpati. Kho Ping Hoo menulis bahwa "pendekar sejati tidak hanya kuat, tapi juga bijaksana." Sebagai masyarakat yang bijak, kita harus memilih dengan hati dan pikiran yang tenang, bukan karena terbawa arus emosi.
Penutup: Demokrasi Banjarbaru di Persimpangan Takdir
Di ujung Pilkada ini, Banjarbaru berada di persimpangan. Pilihan kita bukan hanya soal memilih siapa yang akan memimpin, tetapi juga menentukan arah demokrasi kita. Di satu sisi, ada janji pemberdayaan yang membawa harapan, di sisi lain ada drama korban yang menggugah emosi. Namun, sebagai masyarakat yang bijak, kita harus ingat bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi. Hukum sebab-akibat akan selalu berlaku, entah kita menyadarinya atau tidak.
Kho Ping Hoo sering menulis bahwa keadilan akan datang kepada mereka yang berjalan di jalan yang benar. Fajar demokrasi di Banjarbaru akan terbit ketika masyarakat memilih dengan hati yang jernih dan pikiran yang bijak. Jangan biarkan drama mengaburkan pandangan kita. Pilihlah pemimpin yang benar-benar berkomitmen, yang hadir bukan hanya untuk bercerita, tetapi untuk bekerja bagi masa depan Banjarbaru yang lebih baik.
Oleh: Ahyar Wahyudi
Berita