Berita

Breaking News

Ruqyah, Amanah, dan Tanggung Jawab Bersama: Refleksi atas Kebenaran Hidup


"Hidup adalah cermin. Apa yang kau lakukan, itulah yang akan kembali padamu." – Rumi

Seperti pohon yang tumbuh di hutan, manusia adalah makhluk yang berdiri tegak di atas tanah yang diberkahi dengan amanah. Tugas-tugas besar diemban sejak lahir, baik yang disadari maupun yang tidak. Seperti akar yang menyerap kekuatan dari tanah, manusia menghidupi kehidupannya dengan tanggung jawab yang diikatkan oleh Tuhan, oleh sesama, dan oleh hati nuraninya sendiri. Namun, apa yang terjadi ketika amanah itu diabaikan? Ketika tugas mulia berubah menjadi alat untuk meraih keuntungan pribadi? Seperti pohon yang akarnya diracuni, ia perlahan-lahan tumbang, membawa kehancuran di sekitarnya.

Kasus pelecehan berkedok ruqyah di Banjarmasin membuka babak gelap dari sebuah praktik yang seharusnya menjadi jalan menuju kebaikan. Dalam tradisi Islam, ruqyah adalah sarana untuk menyembuhkan, tidak hanya tubuh tetapi juga jiwa. Namun, ketika amanah yang diemban seorang penyembuh disalahgunakan, bukan hanya individu yang terluka, tetapi juga kepercayaan kolektif masyarakat terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

Mencari Pengobatan di Tengah Keterbatasan
Mengapa masyarakat memilih ruqyah? Ini adalah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh mereka yang berada di luar lingkaran persoalan. Jawabannya tidak sesederhana dugaan. Bagi banyak orang, ruqyah bukan hanya pengobatan, tetapi juga cerminan dari kepercayaan dan harapan. Ketika tubuh dan jiwa dilanda keresahan, seseorang tidak hanya mencari solusi fisik tetapi juga dukungan spiritual.

Namun, pilihan ini sering kali lahir dari keadaan yang serba terbatas. Di banyak daerah, akses terhadap layanan kesehatan modern masih menjadi kemewahan yang tidak dapat dijangkau semua orang. Klinik kesehatan jiwa mungkin hanya ada di kota besar, sementara biaya konsultasi dokter sering kali melebihi kemampuan ekonomi kebanyakan keluarga. Dalam kondisi seperti ini, ruqyah menjadi solusi yang lebih dekat, lebih terjangkau, dan lebih diterima secara sosial.

Amanah yang Menjadi Beban Berat
Ruqyah, ketika dijalankan dengan benar, adalah amanah besar. Seorang terapis bukan hanya seorang penyembuh, tetapi juga seorang penjaga kepercayaan. Ia diberi tugas untuk menjaga martabat pasien, menguatkan jiwa yang rapuh, dan menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah seorang hamba Allah diberikan amanah, lalu ia tidak menjaganya dengan baik, kecuali kelak ia tidak akan mencium aroma surga." (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, amanah yang begitu suci ini bisa berubah menjadi senjata yang melukai ketika dijalankan dengan niat yang keliru. Dalam kasus pelecehan berkedok ruqyah, terapis yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi sumber ketakutan dan trauma. Amanah itu terkhianati, dan luka yang ditinggalkan tidak hanya menyentuh tubuh korban tetapi juga keyakinan mereka terhadap kebaikan.

Peran Negara dalam Mendidik dan Melindungi
Ketika sebuah praktik seperti ruqyah disalahgunakan, masyarakat sering kali menjadi sasaran tudingan. Mengapa mereka tidak memilih pengobatan modern? Mengapa mereka begitu mudah percaya? Namun, pertanyaan ini justru harus diarahkan pada sistem yang membentuk mereka. Negara memikul amanah besar untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakatnya. Ketika masyarakat belum mampu memahami kesehatan mental atau membedakan pengobatan yang benar dan yang salah, ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan tugasnya.

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed mengajarkan bahwa pendidikan bukanlah soal mengisi kepala dengan informasi, tetapi tentang membangun kesadaran kritis. Masyarakat yang memahami hak-haknya, yang mampu mengenali bahaya eksploitasi, adalah masyarakat yang diberdayakan. Namun, di banyak tempat, pendidikan sering kali terlalu terpusat pada hal-hal formal tanpa memberikan ruang bagi pemahaman mendalam tentang kesehatan, etika, dan nilai-nilai universal.

Selain itu, sistem kesehatan yang ada sering kali terlalu eksklusif. Klinik-klinik kesehatan mental belum menjangkau daerah terpencil, sementara tenaga profesional di bidang ini masih sangat terbatas. Ketika kebutuhan akan dukungan emosional tidak terpenuhi, masyarakat akan mencari solusi di tempat lain—bahkan di tempat yang tidak sepenuhnya aman.

Harapan dan Pengkhianatan
Setiap pasien yang datang kepada seorang terapis membawa harapan. Mereka percaya bahwa dalam sesi pengobatan, mereka akan menemukan jalan keluar dari penderitaan mereka. Harapan ini adalah sesuatu yang suci. Seorang penyembuh, dalam perannya, menjadi simbol dari rahmat Allah. Namun, ketika harapan itu dikhianati, dampaknya melampaui luka fisik.

Trauma yang dialami korban pelecehan berkedok ruqyah tidak hanya soal pengalaman itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana ia meruntuhkan kepercayaan mereka terhadap sesama manusia, bahkan terhadap sistem yang seharusnya melindungi. Hal ini mengingatkan kita akan kata-kata Imam Al-Ghazali:

"Kepercayaan adalah sesuatu yang halus. Sekali ia rusak, ia tidak pernah kembali utuh."

Apa yang Sebenarnya Kita Cari dalam Hidup?
Di balik semua polemik ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: Apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup? Ketika seseorang memilih ruqyah, mereka mencari penyembuhan, kedamaian, dan harapan. Ketika seseorang menjadi terapis, mereka menerima amanah untuk membantu dan memberi makna bagi hidup orang lain. Namun, ketika semua itu disalahgunakan, kita harus bertanya: Apakah kita telah kehilangan arah?

Kebenaran, pada akhirnya, bukanlah sesuatu yang bisa dimanipulasi. Ia adalah cahaya yang akan selalu bersinar meski di tengah kegelapan. Ketika kita menghadapi kekecewaan, ketika amanah dikhianati, kita harus kembali kepada hati kita sendiri. Dalam hati itulah letak kebenaran sejati, yang tidak bisa dicuri atau dilenyapkan oleh siapa pun.

Penutup: Sebuah Renungan
Hidup ini adalah perjalanan yang penuh dengan amanah. Dalam setiap langkah, kita memikul tanggung jawab—kepada diri sendiri, kepada sesama, dan kepada Sang Pencipta. Kadang kita gagal, kadang kita tersesat, tetapi selama kita mau kembali, selalu ada jalan.

"Ketika engkau merasa tersesat, ingatlah bahwa kebenaran tidak pernah jauh dari hatimu. Ia adalah cahaya yang menunggu untuk ditemukan, dan dalam menemukan kebenaran itu, engkau akan menemukan dirimu."

Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
© Copyright 2022 - Kalsel Today