Berita

Breaking News

Hutan, Pajak, dan Jejak Langkah yang Kita Tinggalkan


Di antara pohon-pohon yang tinggi menjulang, di bawah naungan kanopi hijau yang membisikkan cerita bumi, hutan telah menjadi saksi atas perjalanan panjang manusia. Ia adalah ibu yang tak pernah meminta, penjaga yang tak pernah lelah, dan pelindung yang tak pernah mengeluh, meski terus-menerus dilukai. Kini, di tanah Indonesia yang megah ini, kita dihadapkan pada pertanyaan yang akan menentukan masa depan: apakah kita akan membuka 20 juta hektare hutan cadangan untuk mengejar ketahanan pangan, energi, dan air, ataukah kita akan belajar dari sejarah untuk memilih jalan yang lebih bijak?

Pertanyaan ini terasa seperti gema masa lalu, saat Samin Surosentiko berdiri menentang pajak kolonial yang ia anggap tidak adil. Pajak, kata Samin, adalah kewajiban yang hanya sah jika digunakan untuk kebaikan bersama. Ia bukan sekadar angka di atas kertas; ia adalah simbol hubungan antara rakyat dan negara. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Bivitri Susanti, pajak di tangan yang salah menjadi alat eksploitasi, bukan kesejahteraan. Dan kini, hutan tampaknya mengikuti jejak yang sama—menjadi korban ambisi yang tidak peduli pada keberlanjutan.

Hutan: Lebih dari Sekadar Angka

Hutan, seperti pajak, adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar angka. Pemerintah berbicara tentang 3,5 juta ton beras dari padi gogo, 26 juta kiloliter bioetanol dari aren, dan luas lahan yang hampir dua kali Pulau Jawa. Namun, di balik angka-angka itu, ada sesuatu yang tak terhitung: kehidupan. Hutan adalah rumah bagi ribuan spesies, penyedia udara yang kita hirup, dan penjaga air yang kita minum. Ia adalah fondasi dari semua yang kita nikmati hari ini, tetapi sering kali kita perlakukan sebagai lahan kosong yang menunggu untuk dieksploitasi.

Dalam The Jungle Book, Mowgli belajar bahwa hutan adalah rumah, bukan sekadar tempat. Ia adalah ruang di mana semua makhluk saling terhubung, di mana keseimbangan adalah hukum utama. Ketika pemerintah memutuskan untuk membuka hutan demi food estate, pertanyaannya adalah: apa yang akan kita korbankan untuk ambisi ini? Dan lebih jauh lagi, apakah harga yang kita bayar benar-benar sepadan?

Pajak dan Hutan: Dua Sisi dari Ujian Moral

Dalam analisisnya, Bivitri Susanti mengingatkan kita bahwa pajak adalah ujian moral bagi negara. Ketika pajak digunakan untuk memperkaya segelintir elit, rakyat kehilangan kepercayaan. Ketika pajak tidak kembali dalam bentuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur, legitimasi negara menjadi rapuh.

Hal yang sama berlaku untuk hutan. Ketika hutan dibuka tanpa mempertimbangkan masyarakat adat yang telah menjaganya selama berabad-abad, atau tanpa memikirkan dampaknya pada ekosistem global, pemerintah tidak hanya melukai lingkungan tetapi juga merusak kepercayaan rakyat. Sama seperti pajak yang gagal dikelola dengan adil, pengelolaan hutan yang destruktif adalah pengkhianatan terhadap janji keadilan sosial dan ekologis.

Mengapa Kita Mengulang Kesalahan yang Sama?

Mengapa, meski telah belajar dari sejarah, kita terus mengulang kesalahan yang sama? Seperti pajak di masa kolonial yang memicu pemberontakan Samin, kebijakan pembukaan hutan ini berisiko menciptakan krisis kepercayaan yang serupa. Masyarakat adat, yang selama ini menjaga hutan dengan cara mereka sendiri, kini dianggap penghalang pembangunan. Hak mereka dilanggar, tanah mereka diambil, dan suara mereka diabaikan.

Namun, apa yang tidak disadari adalah bahwa masyarakat adat adalah penjaga hutan yang sejati. Mereka telah hidup selaras dengan alam, memahami bahwa hutan bukan hanya sekumpulan pohon, tetapi sebuah ekosistem yang kompleks dan saling bergantung. Jika kita kehilangan mereka, kita kehilangan lebih dari sekadar tradisi; kita kehilangan pelajaran berharga tentang bagaimana hidup harmonis dengan alam.

Keseimbangan dan Pilihan

Dalam The Jungle Book, Mowgli akhirnya belajar bahwa hidup di hutan berarti memahami keseimbangan. Bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, bahwa setiap makhluk memiliki tempatnya. Dalam dunia nyata, keseimbangan ini diterjemahkan dalam konsep keberlanjutan. Pembukaan hutan untuk food estate mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, tetapi apa yang terjadi ketika tanah menjadi tandus, air mengering, dan hama menyerang monokultur yang rapuh?

Teori Ecological Resilience menunjukkan bahwa ekosistem yang beragam lebih tahan terhadap gangguan. Sebaliknya, monokultur padi gogo atau aren, seperti yang direncanakan pemerintah, adalah sistem yang rentan. Jika kita benar-benar peduli pada ketahanan pangan, energi, dan air, solusi yang lebih berkelanjutan adalah reforestasi dan agroforestri. Dengan pendekatan ini, kita bisa memulihkan lahan terdegradasi, meningkatkan hasil pertanian, dan menjaga keseimbangan ekosistem.

Pilihan yang Akan Diingat

Seperti pajak yang pernah menjadi alat penindasan di tangan penjajah, hutan kini menghadapi ancaman yang sama. Namun, kita memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk menjadi seperti Samin Surosentiko, yang berdiri melawan ketidakadilan. Kita bisa menjadi seperti Mowgli, yang belajar menjaga keseimbangan hutan. Atau, kita bisa menjadi seperti mereka yang hanya peduli pada keuntungan, meninggalkan kerusakan yang akan terus diingat oleh generasi mendatang.

Hutan adalah ujian moral, seperti pajak. Bagaimana kita mengelolanya akan menentukan siapa kita sebagai bangsa. Apakah kita akan dikenal sebagai penjaga bumi, atau sebagai penghancurnya? Pilihan ini adalah milik kita, tetapi konsekuensinya akan dirasakan oleh semua.

Maka, sebelum kita membuka hutan terakhir, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: apa yang benar-benar kita cari? Karena di antara pohon-pohon yang berdiri kokoh dan akar-akar yang menancap dalam, ada pelajaran tentang kehidupan yang telah lama kita lupakan. Hutan bukan hanya tempat; ia adalah janji, warisan, dan jejak langkah yang akan kita tinggalkan untuk mereka yang datang setelah kita. (Red)
© Copyright 2022 - Kalsel Today