Oleh. Dr. Listyo Yuwanto, M.Psi., Psikolog, FISQua, FRSPH (Dosen Psikologi Universitas Surabaya dan Praktisi Disaster Risk Reduction)
Pada pagi yang tenang di Malang, tanggal 2 September 2024, YPAC Malang menjadi saksi lahirnya harapan baru bagi para siswa melalui sebuah kegiatan yang mendalam maknanya, yaitu "Clay Activity." Di tangan-tangan mungil itu, tanah liat yang semula tak berbentuk perlahan-lahan diubah menjadi karya seni yang penuh makna. Namun, lebih dari sekadar aktivitas seni, kegiatan ini adalah perwujudan dari berbagai konsep teori yang saling berpadu, membentuk sebuah proses transformasi yang menyentuh aspek psikologis, kreatif, ekonomi, dan sosial siswa-siswa yang terlibat.
Dalam dunia psikologi, teori ekspresi emosi (emotional expression theory) menegaskan bahwa seni adalah salah satu medium paling efektif untuk melepaskan dan mengelola emosi yang terpendam (Gross, 2002). Melalui clay activity, para siswa diajak untuk mengekspresikan perasaan yang mungkin sulit diungkapkan dengan kata-kata. Listyo Yuwanto, seorang psikolog klinis yang turut menjadi relawan dalam kegiatan ini, menjelaskan, "Clay memungkinkan seseorang untuk dengan mudah mengekspresikan perasaannya, seolah-olah tidak ada hambatan." Sentuhan lembut pada tanah liat tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga terapi bagi jiwa-jiwa muda yang mungkin tengah bergumul dengan perasaan mereka.
Tak hanya itu, dari sudut pandang teori perkembangan kreativitas (creative development theory) yang diusung oleh Csikszentmihalyi (1996), clay activity ini memberikan ruang bagi para siswa untuk mengeksplorasi potensi kreatif mereka. Dalam proses penciptaan bentuk dari tanah liat, mereka menemukan kebebasan untuk berkreasi tanpa batas, sebuah proses yang memperkaya pengalaman mereka secara keseluruhan. Setiap bentuk yang tercipta adalah manifestasi dari imajinasi yang unik, menumbuhkan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap karya sendiri.
Teori psikologi positif (positive psychology) juga turut bermain dalam kegiatan ini. Menurut Seligman (2002), salah satu pilar kebahagiaan adalah keterlibatan dalam aktivitas yang bermakna. Melalui clay activity, para siswa tidak hanya menemukan kebahagiaan dalam menciptakan sesuatu yang indah, tetapi juga merasakan kebahagiaan yang lebih mendalam karena karya mereka diakui dan dihargai oleh orang lain. Ini sejalan dengan konsep flow yang diperkenalkan oleh Csikszentmihalyi, di mana seseorang terlibat sepenuhnya dalam sebuah aktivitas hingga lupa waktu, dan hasilnya adalah kepuasan yang mendalam.
Namun, manfaat dari clay activity ini tidak berhenti pada aspek psikologis dan kreatif saja. Ada lapisan lain yang lebih dalam, yaitu potensi ekonomis dari kreativitas yang dihasilkan. Berdasarkan teori kewirausahaan sosial (social entrepreneurship theory) yang diperkenalkan oleh Dees (2001), kegiatan ini juga mengajarkan para siswa tentang bagaimana mengubah ide kreatif menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi. Jessica Evelyn, seorang relawan dan penggiat seni, dengan penuh semangat menjelaskan, "Selain menjadi media ekspresi, clay juga memiliki nilai ekonomis. Karya-karya yang dihasilkan bisa dijual atau dipamerkan, memberikan kesempatan bagi para siswa untuk belajar tentang kewirausahaan dan kemandirian ekonomi." Ini bukan sekadar teori, tetapi sebuah pelajaran praktis yang diharapkan dapat membuka jalan bagi para siswa untuk mengembangkan keterampilan wirausaha sejak dini.
Selaras dengan konsep pembelajaran berbasis proyek (project-based learning theory), kegiatan ini memberikan pengalaman belajar yang autentik dan relevan bagi para siswa. Mereka tidak hanya diajarkan bagaimana membuat karya dari tanah liat, tetapi juga bagaimana mengemasnya menjadi produk yang memiliki nilai jual. Menurut Thomas (2000), pembelajaran berbasis proyek mendorong siswa untuk terlibat dalam tugas-tugas yang bermakna dan menantang, yang pada gilirannya memperkaya pengalaman belajar mereka. Dalam hal ini, clay activity menjadi lebih dari sekadar kegiatan seni, tetapi juga alat untuk mengembangkan keterampilan hidup yang penting.
Di sisi lain, teori keterlibatan sosial (social engagement theory) juga hadir dalam kegiatan ini. Keterlibatan para siswa dalam clay activity menciptakan ikatan sosial yang kuat di antara mereka. Menurut Putnam (2000), keterlibatan dalam kegiatan komunitas dapat meningkatkan kohesi sosial dan rasa kebersamaan. Dalam suasana yang penuh kekeluargaan ini, para siswa tidak hanya belajar bersama, tetapi juga saling mendukung dan menginspirasi satu sama lain, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan pribadi dan sosial mereka.
Kadek Indah, seorang relawan lainnya, menambahkan bahwa manfaat dari clay activity ini juga terkait erat dengan teori pengembangan diri (self-development theory). Melalui kegiatan ini, para siswa diajak untuk mengeksplorasi diri mereka lebih dalam, menemukan potensi yang mungkin sebelumnya tidak mereka sadari. "Melalui clay, peserta tidak hanya meresapi pengalaman penyembuhan, tetapi juga menemukan cara baru untuk mengekspresikan diri dan menciptakan sesuatu yang bisa bernilai ekonomi," katanya dengan penuh semangat. Ini sejalan dengan konsep self-actualization yang dikemukakan oleh Maslow (1943), di mana individu mencapai pemenuhan diri melalui pengembangan potensi penuh mereka.
Teori kecerdasan emosional (emotional intelligence theory) yang dikembangkan oleh Goleman (1995) juga relevan dalam kegiatan ini. Melalui clay activity, para siswa diajarkan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi mereka sendiri serta emosi orang lain. Proses ini membantu mereka untuk menjadi lebih empatik dan peka terhadap perasaan orang lain, yang merupakan bagian penting dari kecerdasan emosional.
Selain itu, kegiatan ini juga mencerminkan penerapan teori kesadaran sosial (social awareness theory). Melalui partisipasi dalam clay activity, para siswa diajarkan untuk lebih peka terhadap keadaan sekitarnya dan memahami bahwa kreativitas mereka dapat digunakan untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat. Ini mengingatkan kita pada teori perubahan sosial (social change theory) yang menyatakan bahwa tindakan kecil dari individu dapat membawa dampak besar pada komunitas mereka (Bandura, 1977).
Dalam setiap goresan tangan yang menciptakan bentuk dari tanah liat, ada cerita yang ingin disampaikan, ada perasaan yang ingin diungkapkan, dan ada masa depan yang sedang dibangun. Di balik karya-karya seni itu, tersimpan harapan dan impian yang kini mulai mengambil bentuk nyata. Bagi para siswa YPAC, clay activity ini bukan hanya sarana untuk berekspresi, tetapi juga sebuah langkah menuju masa depan yang lebih cerah, di mana mereka dapat berdiri tegak dengan kreativitas dan keterampilan yang telah mereka kembangkan.
Akhirnya, sebagai sebuah renungan, kegiatan ini mengingatkan kita semua akan pentingnya kepedulian dan rasa syukur. Dalam dunia yang sering kali sibuk dengan urusan masing-masing, kegiatan seperti clay activity ini mengingatkan kita akan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar—berbagi, mendukung, dan menginspirasi satu sama lain. YPAC Malang, dengan segala keterbatasannya, telah berupaya memberikan yang terbaik bagi siswa-siswanya. Dan di sinilah kita, dengan segala berkah dan kemudahan yang mungkin kita miliki, diajak untuk merenung sejenak. Bagaimana jika kita juga berkontribusi? Bagaimana jika dari tangan-tangan kita juga lahir sebuah karya yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan? Mungkin inilah saatnya untuk berbagi, untuk memberi, sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang telah kita terima.
Semoga kegiatan seperti ini terus berlanjut, membawa lebih banyak manfaat dan harapan bagi mereka yang terlibat. Dan semoga dari sini, lahir lebih banyak lagi karya-karya yang bukan hanya indah dipandang, tetapi juga sarat makna, menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus berbuat baik dan peduli kepada sesama. (*)
Berita