HM Syarbani Haira, Ketua Rabithah Melayu Banjar, Pendiri Universitas NU Kalsel

Kalseltoday.com, Banjarmasin - Akhir pekan lalu, saya berkesempatan mengisi sebuah acara, dalam rangka penguatan kelembagaan, oleh sebuah  institusi pemerintahan di Kalimantan Selatan. Saya tampil bersama intelektual ULM, Prof. Dr. H. Hadin Muhjad, SH, MHum.


Sebagai intelektual, Prof Hadin Muhjad, dengan baik mencermati fenomena pemerintahan, mulai sejak orde baru hingga era reformasi dewasa ini. Dari sisi demokrasi, Prof Hadin menilai telah terjadi kemajuan yang luar biasa, antara era orde baru dengan era reformasi sekarang. Jika era orde baru, penuh tekanan, sebaliknya di era reformasi sekarang penuh dengan kebebasan. Kebebasan pers terjamin. Kebebasan berpendapat berlangsung. Kebebasan berpolitik bahkan rada berlebihan. Kaum civil society bahkan mampu menempati ruang, yang sebelumnya belum pernah dimiliki.


Dinamika ini telah mengantarkan psikologi massa yang sulit diprediksi. Akibatnya, ada pemimpin politik di lembaga pemerintahan, baik yang di ekskutive, mau pun yang di legislative, menjadi anomali. Ini terjadi, karena kelembagaan politik, seperti partai politik, belum mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Terbukti, ada kepala daerah terpilih (ekskutive), tak faham dengan tugas dan fungsi kewajibannya. Menyebut istilah jabatan saja masih keliru.


Kondisi salah kaprah ini, tentu saja juga bisa merembet ke berbagai kelembagaan kepemimpinan politik lainnya, seperti di legislative. Maka itu tak aneh jika dalam praktenya, dalam merancang agenda pembangunan saja, mereka kerap kali tak terlalu memahami duduk persoalan pembangunan, mau apa ? Hasilnya, meski dana yang digelontorkan sudah lumayan besar, namun karena ketidak-fahaman duduk persoalan, maka arah pembangunan pun belum mampu mengatasi sekali gus melakukan langkah antisipasi, terkait dengan kepentingan dan problema pembangunan itu sendiri. 


Kondisi yang salah kaprah ini tentu saja bukan sesuatu yang menggembirakan. Bagaimana pun pembangunan yang dilakukan di negeri ini,  seyogyanya berkelindan seiring dengan perubahan zaman. Taruhlah perubahan demografi, mau tidak mau, para pemimpin politik, baik yang berada di legislative, apalagi yang di ekskutive, harus mengerti titik pangkal landasan berpijak dan kemana arah utama pembangunan itu harus dilaksanakan.



Perubahan Demografi


Di mana pun di dunia ini, pembangunan yang dilakukan semata untuk kepentingan rakyatnya, atau demogtafi. Disebut demikian, karena langkah pembangunan, dalam hal ini adalah untuk memajukan sumber daya manusianya, yang di dalamnya terkait  dengan masalah perekonominya, social, politik, saint dan teknologi, serta berbagai aspek penting lainnya.


Kebijakan pembangunan sekarang (2023/2024), tentu saja berbeda dengan kebijakan yang di tempuh oleh para pemimpinan negeri ini di awal reformasi, tahun 1998/1999. Demikian pula dengan situasi  di awal orde baru (1965/1966), kala itu kebutuhannya juga berbeda. Apalagi jika dibanding dengan awal kemerdekaan  negeri ini di tahun 1945, pasti akan jauh dan banyak perbedaan.


Hari ini kita sudah memasuki abad ke-21. Abad yang oleh para ahli disebut dengan era globalisasi, era saint dan teknologi, era pengetahuan 4.0 dan era manusia 5.0. Tak hanya itu, kita juga disebut memasuki era melineal. Dalam era ini, ada sebutan generasi Y, serta sebutan generasi Z


Secara demografi, per  bulan September 2020 lalu (hasil survei BPS) jumlah penduduk negeri ini mencapai 270,20 juta jiwa. Ini artinya ada kenaikan penduduk selama 10 tahun sebesar 32,56 juta jiwa (jika dibanding dengan hasil survei tahun 2010).


Mengomentari hasil survei penduduk tahun 2020 tersebut, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, mengingatkan para pemimpin politik, mulai dari pemerintah (pusat dan daerah) hingga wakil-wakil rakyatnya di perlemen (juga di pusat dan daerah) untuk melakukan langkah terobosan terkait perubahan demografi tersebut/


Menurutnya, “hasil survei penduduk 2020 ini perlu disikapi oleh para pengambil kebijakan agar kita dapat memanfaatkan pertambahan jumlah penduduk untuk memaksimalkan potensi bonus demografi melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)”. 


Pekerjaan Pemimpin Politik

Pergeseran demogtafi ini terlihat dari struktur kelompok umurnya, di mana kelompok umur productive berusia 15 hingga 64 tahun begitu mendominasi. Jumlahnya bahkan sampai 191,08 juta jiwa, atau sekitar 70.72 % dari total penduduk di negeri ini. Keadaan ini jauh melampaui dari tradisi struktur penduduk sebelumnya, di mana kelompok umur 0 hingga 14 tahun tinggal 63.03 juta jiwa, atau hanya sebesar 23.33 %. Pun untuk kelompok umur penduduk usia lanjut, 65 tahun ke atas, yang kini hanya tinggal sebesar 16.07 juta jiwa, atau 5.95 %.

Meningkatnya kelompok usia productive ini tentu saja sangat menguntungkan negeri ini. Karena jika pada tahun-tahun sebelumnya, angka ketergantungan penduduk, baik karena factor banyaknya anak-anak balita atau kelompok usia tua, dulunya masih di atas 50 %. Sedang kini kelompok itu angkanya tinggal hanya 41 %. 


Besarnya kelompok usia productive ini, itulah yang disebut-sebut sebagai “bonus demografi”. Kenapa ? Karena orang yang bekerja, yang menghasilkan uang, lebih besar ketimbang yang tidak productive. 


Masalahnya, tidak semua kelompok umur itu semua produktive. Inilah yang harus difahami dengan baik oleh mereka yang kini sedang menduduki jabatan penting, sebagai pengambil keputusan. Mereka ada yang di ekskutive, selain di legislative. 


Jika mereka tidak faham, bisa saja bonus demografi yang kini sedang melanda Indonesia menjadi sia-sia. Tak ada arti apa-apa untuk negeri ini. Bonus demografi menjadi nonsense adanya. Maka itu bonus demografi menjadi pekerjaan rumah bagi para pemimpin politik di negeri ini


Tetapi jika mereka yang sedang memiliki jabatan pembuat kepentingan, yang arahnya akan mengoptimalkan semua potensi bonus demografi, tentu era ini bisa akan mengantar negeri ini sebagai negera maju ke-4 di dunia, saat Indonesia memasuki Satu Abad tahun 2045 mendatang, seperti yang banyak dipredeksikan oleh para ahli ekonomi dunia. 


Mengingat urgentnya moment ini, maka rakyat Indonesia yang jumlahnya sudah mencapai 270 juta jiwa lebih itu, dalam pemilu 2024 besok yang akan diwakili oleh sekitar 200 an juta jiwa pemilih, hendaknya mereka semua ikut memilih pemimpin negeri ini, baik yang di ekskutive mau pun  yang dilegislatibe, jangan sampai golput. Sukseskanlah event lima tahunan negeri ini


Mereka yang dipilih, harusnya adalah orang-orang yang punya visi dan misi brilliant dan genuine, dalam memajukan negeri ini. Jika demikian yang terjadi, maka negeri khatulistiwa ini betul-betul akan menjadi negeri maju, sesuai dinamika demografinya, yang kini sudah berada dalam posisi 4 besar di seluruh dunia. Wallahu a’lam bissawab … !!!