Berita

Breaking News

SKDR: Kecepatan Tanpa Akurasi, Sebuah Krisis dalam Epidemiologi Modern?


Sembari mendengar petikan nada sendu dari Ariel Peterpan dalam lagu Menunggumu, batin ini terusik oleh data yang tersaji dalam Bulletin SKDR M-4 DINKES Kota Banjarbaru. Dalam pusaran angka dan tabel, tersimpan sebuah cerita epidemiologi yang seharusnya tak hanya menjadi dokumentasi, melainkan pemicu perbaikan sistem kesehatan yang lebih progresif. Namun, adakah laporan ini sekadar harmoni statistik tanpa nada analitis yang tajam? Ataukah masih menunggu untuk dipertajam dengan sentuhan kebijakan berbasis bukti yang lebih kuat?

Menelaah Keunggulan SKDR: Struktur yang Teratur namun Terbatas

Dari perspektif timeliness dalam surveilans epidemiologi (Teutsch & Churchill, 2000), laporan ini membanggakan kelengkapan dan ketepatan data yang sempurna, mencapai 100%. Sistem respons terhadap 31 alert dalam kurun waktu kurang dari 24 jam juga menunjukkan efektivitas mekanisme deteksi dini, yang dalam teori respons wabah (Heymann, 2015) menjadi fondasi utama dalam pencegahan epidemi.

Namun, keunggulan ini harus diuji lebih lanjut. Apakah kecepatan dan kelengkapan ini benar-benar mencerminkan kualitas respons, ataukah hanya menjadi formalitas administratif yang tidak menggambarkan kesiapan mitigasi di lapangan? Dalam perspektif real-time surveillance (Henning, 2004), surveilans bukan hanya tentang angka tetapi juga keterkaitan langsung dengan intervensi kesehatan. Jika laporan ini sekadar menjadi akumulasi statistik tanpa daya dorong kebijakan yang konkret, maka efektivitasnya masih harus dipertanyakan.

Nada Sumbang: Kelemahan Laporan yang Perlu Dikritisi

Sebagus apapun harmoni data dalam laporan ini, tetap terdapat distorsi yang harus diperbaiki. Salah satu kelemahan mendasar adalah lemahnya validitas diagnostik. Banyaknya kasus "suspek" tanpa konfirmasi laboratorium menandakan bahwa data ini belum sepenuhnya reliabel. Frieden (2014) menekankan bahwa surveilans yang ideal tidak hanya mencatat angka tetapi juga memastikan validitas melalui uji diagnostik yang akurat. Ketergantungan pada data suspek tanpa konfirmasi mengaburkan pemetaan wabah yang seharusnya lebih presisi.

Kelemahan lainnya adalah sifat laporan yang masih bersifat deskriptif tanpa analisis mendalam terhadap faktor determinan sosial kesehatan. Dalam teori Social Determinants of Health (Marmot & Wilkinson, 2005), penyakit menular tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis tetapi juga sosial-ekonomi seperti akses terhadap air bersih, pola pemukiman, dan kesenjangan kesehatan. Ketidakhadiran eksplorasi mengenai faktor-faktor ini menjadikan bulletin ini sekadar laporan angka tanpa pemahaman yang lebih dalam tentang akar masalah yang sesungguhnya.

Selain itu, tidak adanya analisis prediktif berbasis epidemiologi membuat laporan ini cenderung reaktif daripada proaktif. Seharusnya, SKDR tidak hanya berfungsi sebagai alat pencatatan tetapi juga sebagai sistem prediktif yang memungkinkan kebijakan kesehatan berjalan lebih maju daripada pergerakan wabah itu sendiri. Tanpa elemen prediksi berbasis algoritma epidemiologi atau kecerdasan buatan (Shin et al., 2020), laporan ini masih berjalan dalam paradigma konvensional yang seharusnya sudah ditinggalkan.

Rekomendasi: Menyelaraskan Data dengan Aksi Nyata

Dalam mengubah bulletin ini menjadi alat yang benar-benar transformatif, beberapa langkah perbaikan harus dilakukan. Pertama, perlu adanya peningkatan dalam validitas data dengan mewajibkan konfirmasi laboratorium terhadap semua kasus suspek sebelum masuk dalam pelaporan SKDR. Hal ini akan mengurangi bias data yang berisiko menyesatkan kebijakan respons epidemiologi.

Kedua, pendekatan One Health harus lebih diintegrasikan dalam surveilans SKDR, mengingat penyakit infeksi sering kali memiliki kaitan erat dengan faktor lingkungan dan zoonosis (Destoumieux-Garzón et al., 2018). Kolaborasi dengan bidang kedokteran hewan dan ekologi lingkungan harus diperkuat agar sistem kewaspadaan dini lebih komprehensif.

Ketiga, SKDR harus mengadopsi teknologi modern, termasuk algoritma kecerdasan buatan, untuk menganalisis pola epidemiologi dan memprediksi kemungkinan lonjakan penyakit. Model epidemiologi berbasis data historis dan machine learning dapat meningkatkan kemampuan deteksi dini sebelum sebuah wabah benar-benar terjadi (Buehler et al., 2004).

Keempat, bulletin ini harus memperluas cakupannya dari sekadar laporan kasus menjadi analisis yang mengaitkan tren epidemiologi dengan faktor determinan sosial. Dengan demikian, kebijakan kesehatan tidak hanya berbasis respons klinis tetapi juga intervensi sosial yang lebih strategis.

Penutup: Harmoni Data yang Harus Ditingkatkan

Laporan ini adalah partitur yang belum sempurna, sebuah melodi yang masih membutuhkan sentuhan lebih tajam agar menghasilkan simfoni epidemiologi yang lebih harmonis. Seperti bait dalam Menunggumu, kita tidak bisa hanya menunggu perbaikan datang dengan sendirinya. Sistem kesehatan harus terus berkembang, data harus lebih tajam, dan kebijakan harus lebih presisi. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam simfoni wabah yang terus berulang tanpa perubahan berarti.(*)
© Copyright 2022 - Kalsel Today