Bayangkan begini: Kita sudah berlari marathon selama 25 tahun mengejar tikus-tikus yang mencuri beras dari lumbung negara. Dari awal hingga akhir, kita fokus pada beras yang hilang, kerugian negara yang terus dikalkulasi dengan rumitnya, seolah-olah tikus-tikus ini bisa diatasi hanya dengan menghitung seberapa banyak beras yang mereka makan. Ternyata, strategi ini tidak menghasilkan apa-apa. Beras tetap habis, tikus tetap kenyang. Lalu apa yang salah?
Amien Sunaryadi, seorang yang pernah duduk di singgasana anti-korupsi negeri ini, memukul genderang perubahan: “Jangan fokus lagi pada beras yang dicuri! Fokuslah pada siapa yang memberi makan tikus-tikus ini.” Sebuah nasihat sederhana yang mungkin terdengar seperti teori konspirasi administrasi, tetapi justru memiliki akar kuat dalam teori administrasi publik dan ilmu pemerintahan.
Suap-Menyuap: Hantu yang Tak Tersentuh
Dalam perspektif ilmu administrasi, korupsi suap-menyuap adalah ibarat gempa yang terjadi di bawah tanah, menggerogoti fondasi tanpa kita sadari. Douglas North (1990), ahli dalam teori institusi, menjelaskan bahwa korupsi adalah hasil dari kegagalan sistem kelembagaan, di mana aturan main tidak ditegakkan dengan benar dan insentif untuk bertindak curang terlalu menggiurkan. Di Indonesia, institusi yang mengawasi kerugian negara seakan membiarkan suap-menyuap berkembang biak tanpa hambatan. Kita sibuk mengkalkulasi kerugian negara, tetapi lupa menghitung berapa banyak amplop yang berpindah tangan di bawah meja.
Amien, dengan logika administratif yang sederhana tapi mematikan, ingin menggeser fokus kita: “Coba fokus ke suap-menyuap!” katanya. Dalam ilmu administrasi, ini sebenarnya langkah yang cerdas. Suap adalah bentuk paling halus dari korupsi yang sering kali melibatkan jaringan aktor yang lebih luas, dan lebih sulit dilacak. Bukan hanya soal uang yang hilang dari kas negara, tetapi soal nilai-nilai yang runtuh dari integritas aparatur negara.
Mengapa Suap-Menyuap Lebih Berbahaya?
Dari perspektif administrasi, suap-menyuap merusak tatanan birokrasi dengan lebih halus namun lebih dalam. Max Weber, sang bapak birokrasi modern, pasti menggeliat di kuburnya jika melihat bagaimana suap telah membongkar tatanan birokrasi yang seharusnya rasional dan meritokratis. Suap mengubah mekanisme administratif menjadi permainan kotor penuh intrik, di mana aturan yang berlaku adalah “siapa yang membayar, dia yang berkuasa.”
Jika korupsi kerugian negara adalah kanker yang terlihat di permukaan, maka suap-menyuap adalah tumor ganas yang berkembang diam-diam. Ini tidak hanya merusak kepercayaan publik pada pemerintah, tetapi juga memperburuk kinerja birokrasi secara keseluruhan. Saat kita terus-menerus fokus pada kerugian negara, suap-menyuap terus merajalela, menjadi senjata makan tuan bagi birokrasi itu sendiri.
Senjata Makan Tuan: Ancaman Nyata
Tapi kenapa strategi ini ditolak di KPK? Amien menjawab dengan bijaksana, “Karena jika fokusnya berubah ke suap-menyuap, akan terjadi senjata makan tuan.” Dalam ilmu administrasi, senjata makan tuan adalah istilah metaforik yang menggambarkan bagaimana aturan dan kebijakan yang dibuat untuk memperbaiki sistem malah bisa berbalik menyerang penciptanya.
Mungkin para jaksa di KPK sadar, jika fokusnya pada suap-menyuap, banyak tangan-tangan yang bermain di balik layar akan tersingkap. Bukan hanya koruptor kelas bawah, tetapi para elite yang selama ini berada di balik bayang-bayang sistem birokrasi. Ini seperti menggali kuburan sendiri—strategi yang berpotensi meruntuhkan tatanan kekuasaan yang ada.
Penutup: Metafora dan Kata Bijak
Dalam filsafat Timur Tengah, ada pepatah yang berbunyi: “Jika kamu menggali sumur untuk menjebak musuhmu, pastikan kamu tidak terjatuh ke dalamnya sendiri.” Inilah dilema yang dihadapi oleh para pemburu koruptor di negeri ini. Fokus pada suap-menyuap, dan kamu mungkin akan menemukan dirimu jatuh dalam jebakan yang kamu buat sendiri. Namun, tanpa keberanian untuk menggeser fokus ini, korupsi akan tetap menjadi bayang-bayang kelam yang terus membayangi langkah kita.
Kita tidak bisa terus-menerus mengukur kerugian negara tanpa melihat akar dari masalah ini. Jika tidak, seperti sebuah rumah yang dirobohkan dari pondasinya, sistem kita akan hancur, dan suap akan terus menari-nari di atas reruntuhan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, korupsi adalah ibarat asap yang menyelimuti negeri ini. Dan sampai kita memadamkan api yang menyebabkan asap tersebut—yakni suap-menyuap—kita akan terus hidup dalam kabut yang menyesatkan.
Oleh. Ahyar Wahyudi (LAFKI)
Berita