Saranjana Kota Gaib yang Berada di Kalimantan Selatan Tercatat di Peta Hindia Belanda

Peta Saranjana di peta Hindia Belanda (istimewa)

Kalseltoday.com, Banjarmasin - Saranjana ramai diperbincangkan di media sosial di mana warganet meyakininya sebagai kota gaib. Tapi faktanya, nama Saranjana memang sudah tercatat di peta era Hindia Belanda.


Rumor Saranjana sebagai kota gaib sebenarnya sudah lama ada di masyarakat. Namun, diskusi mengenai Saranjana ini kembali memanas setelah seorang wisatawan mengunggah foto dengan latar siluet kota megah. Foto itu lantas viral sebab wisatawan tersebut mengaku hanya melihat hutan di belakangnya, bukan kota seperti yang muncul pada foto yang diambil pada malam hari itu.


Banyak orang kemudian bertanya-tanya soal eksistensi Saranjana. Tak sedikit yang memandang Saranjana hanyalah kota fiktif. Sementara yang lain berpandangan bahwa Saranjana merupakan kota tak kasat mata yang dihuni jin.


Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, Saranjana ini merupakan kota maju di mana di dalamnya terdapat berbagai teknologi canggih. Sebut saja penggunaan mobil terbang hingga berdirinya gedung-gedung pencakar langit.


Anggapan ini jelas kontras dengan lingkungan lokasi Saranjana disinyalir berada yaitu di Pulau Laut, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pasalnya, wilayah itu didominasi hutan dan laut.


Meskipun sejumlah orang sangsi dengan keberadaan Saranjana, faktanya, nama Saranjana ini pernah tercantum dalam peta masa Hindia-Belanda. Tepatnya pada tahun 1845, kartografer Jerman bernama Salomon Muller pernah menulis Tandjong Saranjana pada Peta Wilayah Pesisir dan Pedalaman Borneo.


Tandjong Saranjana ini terletak di selatan Pulau Laut. Tepatnya, berada di perbatasan Poeloe Kroempoetan dengan Poeloe Kidjang.


Selain peta bikinan Muller, sumber lain yang memuat Saranjana adalah Kamus Statistik Geografis Hindia Belanda yang ditulis Pieter Johannes Veth. Pada 1869, Veth menulis, "Sarandjana, bagian selatan Poeloe Laut, yakni pulau yang terletak di tenggara Borneo."


Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Masyur, dalam jurnalnya berjudul Saranjana in Historical Record: The City's Invisibility in Pulau Laut, South Kalimantan, mengatakan catatan-catatan era Hindia Belanda ini dapat menjadi indikasi bahwa Saranjana eksis sejak zaman dulu. Hanya saja saat ini memang tanjung atau kampung bernama Saranjana yang dicatat dalam peta itu tidak ada.


Legenda Saranjana dan Mitos Soal Kota Impian


Ia pun menjelaskan kaitan Saranjana sebagai kota gaib dengan legenda penciptaan Gunung Sebatung. Dulunya, wilayah Pulau Laut ini dikuasai Kerajaan Halimun yang dipimpin Raja Pakurindang. Raja Pakurindang ini memiliki dua anak yang sering bertengkar bernama Sambu Ranjana dan Sambu Batung.


Raja Pakurindang ingin menyudahi pertikaian kedua putranya dengan membagi wilayah kekuasaan. Sambu Batung menguasai alam manusia yang kemudian menjelma menjadi Gunung Sebatung. Sementara Sambu Ranjana kemudian membangun Kota Saranjana di alam gaib.


Dalam jurnal itu, Mansyur juga menawarkan hipotesis bahwa Saranjana adalah wilayah suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut. Suku Dayak yang dimaksud adalah Dayak Samihim sub suku Dayak yang mendiami wilayah timur laut Kalimantan Selatan.


Berdasarkan sumber lisan, kerajaan mereka dikenal dengan nama Nan Sarunai yang dirusak oleh pasukan Jawa yang dipanggil dari Marajampahit atau Majapahit. Kesimpulan hipotesis ini, Kerajaan Saranjana muncul sebelum 1660-an atau sebelum abad ke-17 Masehi. Kepala Suku adalah Sambu Ranjana.


Hipotesis lain dari Mansyur adalah bahwa Saranjana sebagai kota impian. Dasar hipotesisnya bermula dari sejarah Pulau Laut yang pernah dikuasai bangsawan Kesultanan Banjar yang bernama Pangeran Purabaya.


Pangeran Purabaya merupakan bangsawan awal yang membangun Pulau Laut. Hanya saja, belum tuntas pembangunan, ia memberontak namun berhasil ditumpas.


Setelah Purabaya tewas pada 1717, tak banyak catatan sejarah mengenai wilayah ini. Catatan yang ditemukan mengatakan bahwa Pulau Laut sempat dipinjamkan ke VOC untuk mengumpulkan komoditas sarang walet.


Akhirnya Saranjana menjadi memori kolektif, di mana wilayah itu dulunya pernah diharapkan Purabaya sebagai daerah yang maju. Lambat laun, ini menjadi mitos kota impian, lengkap dengan segala teknologi canggih dan kemewahan yang melingkupinya. (*)

0/Post a Comment/Comments